Untuk mencapai standar etos kerja yang tinggi ia harus terjun langsung ke sumber berita. Misalnya saja, dalam reportase praktik prostitusi yang terselubung. Mungkin sang reporter atau jurnalis (warga) harus menyamar menjadi seorang kupu-kupu malam.
Bayangkan, bila seorang reporter atau jurnalis (warga) dengan risiko seperti ini tidak dihargai secara layak oleh media tempatnya bekerja. Bukankah ini sebuah bentuk perbudakan kapitalis dari media sendiri kepada para jurnalisnya?
Sulit membayangkan kebenaran seperti apa yang bisa disuarakan oleh media, bila kepentingan ekonomi para kapitalis selalu menjadi yang di atas segalanya. Termasuk bila harus "memperbudak" para pencari berita, yang kalau bukan karena kecintaannya pada tulisan, bisa saja karena ia tak mengetahui sumber mata pencaharian lain, maka ia tetap setia dan rela diperbudak.
Tantangan jurnalisme adalah bahwa di balik keberpihakan media adalah adanya suatu transaksi. Dalam realitasnya, transaksi berarti darah atau kesejahteraan, untuk media bisa tetap bertahan dan berkembang, termasuk darah dan kesejahteraan bagi sang jurnalis sendiri. Padahal idealnya, keberpihakan jurnalisme adalah kepada kebenaran.
Pertanyaannya adalah "Kebenaran yang mana?" dan "Untuk siapa?"
Â
Ditulis oleh TT van de Karr untuk Inspirasiana dan Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H