Masihkah efektif sebagai wahana pendidikan antikorupsi?
Di sebuah sekolah, sempat pula didirikan semacam kantin kejujuran. Akan tetapi, nasibnya pun tragis. Jumlah pendapatan tidak sesuai dengan harga jual yang semestinya.
Artinya memang ada yang tidak atau lupa membayar sesuai harga yang telah ditentukan.Â
Kejadian semacam ini sebenarnya bukan berarti kantin kejujuran lantas tidak berguna. Konsep kantin kejujuran sangat bagus. Tinggal bagaimana pelaksanaannya.
Upaya penanaman nilai bukan sesuatu yang bisa secara instan menampakkan hasilnya.
Dalam filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, ada keterkaitan antara peran guru atau pendidik yang memberi teladan di depan, memberi motivasi di tengah-tengah siswa, dan memberi semangat dan dorongan dari belakang.
Inilah tafsir dari ungkapan tersohor beliau: Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Sebuah kantin kejujuran memang perlu diprediksi akan merugi. Akan tetapi, kerugian akibat ketidakjujuran ini toh bisa dibayar kembali secara kolektif oleh siswa.
Jika misalnya rugi sekian ratus ribu, bisa saja lembaga sekolah dan siswa sepakat iuran bersama untuk menutup kerugian itu. Bisa juga dibuat sistem "sanksi" kerja bakti sebagai hukuman kerugian yang ditimbulkan.
Misalnya, semakin rugi kantin kejujuran sekolah, semakin diperbanyak kegiatan kerja bakti lingkungan sekolah. Ini agar pelaku tindakan tidak jujur merasa ikut dihukum dan (semoga) merasa bersalah. Setidaknya demikian harapan kita.
Bisa pula ditempuh cara-cara kreatif lain untuk menambal kerugian kantin kejujuran. Para siswa zaman now tahu cara-cara menghasilkan uang secara kreatif dan mandiri.