Tertangkapnya Menteri KKP Edhy Prabowo dalam operasi tangkap tangan KPK baru-baru ini kembali menambah panjang daftar kasus korupsi di tanah air kita.Â
Edhy Prabowo ditangkap dengan dugaan sebagai penerima suap dari pengusaha tambak dan pengelolaan produk perikanan. Kemungkinan terkait ekspor benih lobster. Demikian dikabarkan Kompas.com, 25 November 2020.
Seorang rekan penulis pernah berkelakar demikian. Seandainya korupsi lenyap dari Indonesia, koran bisa terbit separuh jumlah halaman biasanya. Karena menurutnya, separuh berita koran adalah berita korupsi.
Tentu kelakar ini lucu namun juga sangat memprihatinkan. Apa yang dikatakan rekan itu ada benarnya. Ia mungkin melebih-lebihkan, tetapi bisa jadi ada banyak kasus korupsi yang tidak diusut dan sejatinya bisa memenuhi separuh koran jika semua kasus diungkap.
Menurut hasil riset para ekonom dalam rentang waktu 2001 hingga 2015, besarnya kerugian negara akibat rasuah atau korupsi di Indonesia telah mencapai Rp203,9 triliun. Suatu jumlah yang fantastis.Â
Seandainya jumlah uang sebesar itu digunakan dengan baik, jutaan rakyat akan sejahtera. Sekolah-sekolah yang (hampir) ambruk dapat kembali dibangun. Para penganggur dapat memperoleh pekerjaan. Jaminan kesehatan rakyat kecil dapat diselenggarakan dengan lebih baik.
Sekolah sebagai sokoguru gerakan antikorupsi
Perilaku bangsa dapat diubah mulai dari sekolah. Edukasi adalah kunci transformasi. Sekolah semestinya menjadi tempat yang bebas rasuah.Â
Sekolah seharusnya menjadi sokoguru pendidikan antikorupsi.
Sebenarnya kesadaran nilai penting sekolah sebagai sokoguru gerakan antikorupsi telah tercantum dalam Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 mengenai Percepatan Pemberantasan Korupsi. Dalam Inpres itu, ditegaskan bahwa Menteri Pendidikan wajib memastikan terselenggaranya pendidikan yang menanamkan pendidikan perilaku antikorupsi pada segala jenjang pendidikan.
Tiga aspek pendidikan antikorupsi