Kegiatan-kegiatan lomba juga aktif dilakukan seperti acara 17 Agustus-an. Nah saya ingat ya, dulu ada acara siaran malam-malam yaitu pembacaan puisi. Puisi-puisi yang dikirim pendengar ini dibacakan dengan agak lebay, pakai bercucuran air mata segala. Waktu itu saya malah tidak suka acara pembacaan puisi tersebut. Mungkin cara pembacaannya dan juga isi puisinya, kalau tidak putus cinta ya mabuk tuak eh mabuk cinta he he he.Â
Ternyata kita tak boleh ada rasa tak suka, buktinya sekarang saya malah menyukai puisi.
Berapa honor bekerja di radio di masa itu? Rp 30.000, buat seorang jomlo di zaman itu cukup mewah. Bisa beli baju kaos baru tiap bulan, beli sepeda  dan menabung. Saya termasuk baik hati dan suka menabung.Â
Saya sangat sedikit memiliki dokumentasi di zaman jadi penyiar/bekerja di radio, karena tidak ada swafoto di zaman itu. Saya punya foto kenang-kenangan cuma satu ini saja yang saya sertakan dalam tulisan ini. Pada waktu itu pas  ada acara lomba sepeda tujuh belasan. Difoto pakai tustel, pakai klise film he he he.Â
Saya hanya bekerja selama 1 tahun setelah diterima bekerja di sebuah LSM. Pemilik radio waktu itu sangat keberatan saya berhenti, karena rangkapan jabatan itu tadi. Kisah radio swasta ini juga berakhir beberapa tahun kemudian, karena kesulitan pemasang iklan dan faktor kemajuan zaman juga.
FS, November 2020
III. Suka-Duka dan Tip Menjadi Penyiar Radio Kini (Alfira Azzahra)
Berawal dari rasa suka mendengarkan dan bergabung untuk request lagu dan salam-salam di Radio pada tahun 2009, muncullah suatu keinginan untuk menjadi pilot dari mixer sebuah stasiun radio, alias menjadi seorang penyiar.
Setiap hari saya mencoba berbicara di depan kaca cermin untuk latihan percaya diri, hingga terus berbicara menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar di setiap kesempatan. Itulah yang bisa melatih kemampuan dari bakat saya tersebut.
Tahun 2010 saya mecoba melamar sebagai penyiar pada suatu radio komunitas dengan area lingkup kecil, hanya satu kota saja. Saya diterima.