Hari Senin libur, sorenya melakukan kunjungan pastoral untuk menguatkan iman jemaat. Hari Selasa membina kaum perempuan, Rabu membina kaum bapak, Kamis membina remaja, Jumat dan Sabtu mempersiapkan khotbah.
Uniknya, Haposan mempersiapkan khotbah dengan cara mengunjungi jemaat, agar persoalan-persoalan jemaat bisa menjadi bahan khotbah. Kesaksian jemaat dijadikan bahan khotbah agar iman seluruh jemaat bertumbuh dengan baik.
Haposan sangat mencintai pelayanannya. Jemaat pun hormat dan kagum kepadanya.
Bebarapa tahun kemudian...
Haposan meninggal, bersamaan dengan si Parman, salah seorang anggota jemaatnya. Tibalah waktunya mereka dihakimi oleh malaikat, soal status mereka apakah akan ke surga atau neraka.
Konon, surga itu ada 7 tingkatan lantai. Peraturannya, setelah dihitung amal perbuatannya, semakin tinggi amal perbuatannya, maka semakin tinggilah tingkatan lantai huniannya di surga.
Malaikat memanggail si Parman agar masuk ke lantai  3. Mendengar Parman dimasukkan ke lantai 3, pendeta Haposan senang luar biasa. Ia memperkirakan bahwa ia akan ditempatkan di lantai 7.
Malaikat pun memanggil pendeta Haposan, yang juga ditempatkan dilantai 3. Ruangan mereka bersebelahan di surga.
Haposan pun protes ke malaikat, dan mengatakan bahwa si Parman itu hanya jemaat, dan ia tahu persis perilaku keseharaiannya. "Si Parman itulah jemaatku yang paling malas ke gereja," kata Haposan.
Menurut Haposan, si Parman lebih memprioritaskan ternaknya daripada beribadah ke gereja. Parman kadang lebih memilih mencari rumput bagi kerbau dan sapinya dibanding kebaktian di gereja.
"Kalau saya melayani umat Tuhan siang dan malam. Jadwal saya padat untuk melayani umat. Senin hingga  Minggu terus menerus melayani umat untuk kemuliaan Tuhan semata. Mengapa saya satu lantai dengan Parman?" protes Haposan.