Mohon tunggu...
Inspirasiana
Inspirasiana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Kompasianer Peduli Edukasi.

Kami mendukung taman baca di Soa NTT dan Boyolali. KRewards sepenuhnya untuk dukung cita-cita literasi. Untuk donasi naskah, buku, dan dana silakan hubungi: donasibukuina@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengkaji Tiadanya Frasa "Terima Kasih" dalam Suku Dayak Desa

5 November 2020   12:00 Diperbarui: 29 April 2021   21:04 4195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pribadi sama sekali tidak merasa sakit hati atau tersinggung diperlakukan demikian. Karena saya yakin, dengan berbuat demikian, mereka sama sekali tidak bermaksud merendahkan atau mempermalukan saya.

Justru itulah ungkapan penerimaan yang paling dalam dan tulus dari umat. Hasilnya, saya bisa menjalani masa-masa tugas selama dua tahun di Paroki ini dengan penuh suka cita.

Mungkin ada juga yang berpandangan kalau umat di tempat ini tidak tahu berterima kasih. Sudah baik-baik diberi seorang pastor untuk melayani mereka malah disambut dengan cara yang demikian.

Saya hanya mau mengatakan, meski saudara-saudariku sesama orang Dayak masih banyak yang tinggal di pedalaman. Bahkan beberapa masih ada yang tinggal di dalam hutan. Jauh dari bising kota.

Namun saya yakin, mereka adalah manusia yang punya hati dan perasaan. Tahu menghormati orang lain. Hanya saja semua itu mereka ungkapkan dengan indah seturut cara mereka masing-masing.

Pengaruh Hidup Bersama di Rumah Panjang

Tiadanya frasa atau kata "terima kasih" dalam bahasa Dayak, sekali lagi, tentu saja tidak berarti orang-orang Dayak itu tidak tahu berterima kasih. Fakta ini sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh cara hidup mereka ketika dulu masih hidup di Rumah Panjang (Rumah Betang). Rumah Panjang biasa dihuni oleh 5-30 kepala keluarga.

Suasana yang sangat terasa dan kentara dari kehidupan di Rumah Panjang ialah tingginya semangat kebersamaan dan kekeluargaan. Dalam semangat ini, segala pekerjaan hampir selalu dilaksanakan secara gotong royong. Setiap warga akan selalu siap sedia membantu sesamanya tanpa mengharapkan imbalan atau upah.

Kalau memang satu sama lain selalu bersedia membantu, lantas mengapa begitu sulit mengucapkan "makaseh, bah"? Mereka mengucapkan terima kasih bukan dengan perkataan, melainkan dengan perbuatan.

Dalam aktivitas beduruk (gotong royong kerja di ladang) dalam suku Dayak Desa, misalnya. Ketika selesai bekerja di ladang para anggota tidak akan saling mengucapkan terima kasih.

Terima kasih itu akan mereka ungkapkan dengan bekerja secara total dan penuh tanggung jawab saat bekerja di ladang anggota yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun