Konflik di Laut China Selatan
Klaim sepihak yang dilakukan oleh China terhadap wilayah Laut China Selatan semakin menarik perhatian dunia internasional. Coast Guard China, dalam berbagai aksi, menjadi sorotan khususnya baru-baru ini saat mereka melakukan manuver berbahaya yang merusak kapal Coast Guard Filipina dan mengganggu pengiriman logistic pada 5 Maret 2024. (dikutip dari halaman CCN Indonesia).[1] Manuver yang dilakukan menunjukkan eskalasi ketegangan yang semakin meningkat di Laut China Selatan.Â
Tindakan semacam itu berpotensi memicu konflik yang lebih besar dan meningkatkan risiko keamanan bagi kapal-kapal yang berlayar di wilayah tersebut. Klaim sepihak China terhadap sebagian besar Laut China Selatan juga menjadi pemicu ketegangan. Kapal Coast Guard China sering kali mengawal dan melanggar kedaulatan negara-negara yang berada dalam klaim Zona Sepuluh Garis (Ten-dash-line). Nelayan Indonesia mengalami ketegangan saat kapal nelayan China melakukan illegal fishing di perairan Natuna. Kegiatan illegal fishing tersebut dilakukan oleh nelayan China menggunakan kapal KM Kway Fey 10078 yang masuk ke wilayah perairan Natuna secara ilegal.Â
Kapal TNI Angkatan Laut berhasil mengidentifikasi 10-12 kapal ikan asing di Natuna di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Kapal-kapal asing itu terlihat sedang menarik jaring ke laut Natuna dan diduga sedang melakukan penangkapan ikan ilegal dengan menggunakan jaring dan pukat harimau.[2]
 Â
Klaim Sepihak China dan alasan sengketa di Laut China Selatan
China mengklaim wilayah Laut Cina Selatan sebagai bagian dari kedaulatannya dengan mengacu pada "klaim historis". Meskipun ada putusan internasional yang menolak klaim tersebut, China tetap menegaskan klaimnya dan tidak mengakui putusan Pengadilan Arbitrase terkait Laut Cina Selatan.Â
Putusan tersebut menyatakan bahwa garis sembilan dash tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan menolak klaim sejarah China di wilayah tersebut. Seharusnya putusan tersebut dihormati oleh semua negara yang terlibat dan menjadi langkah penyelesaian atas klaim China di wilayah laut, termasuk Indonesia.[3] Â
Baru-baru ini, China merilis peta standar tahun 2023 yang memperluas klaim teritorialnya di Laut Cina Selatan dengan menambahkan sepuluh garis putus-putus. Peta ini merupakan perpanjangan dari sembilan garis putus-putus yang sebelumnya digunakan oleh Beijing dan sudah mencakup lebih dari 90% Laut Cina Selatan. Langkah ini memicu protes dari negara-negara tetangga China, yang menganggap peta baru tersebut sebagai upaya untuk memperluas klaim Beijing atas sebagian wilayah zona ekonomi eksklusif mereka di Laut Cina Selatan.[4]Â
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin mengatakan pada konferensi pers rutin pada tanggal 30 Agustus 2023 bahwa "Posisi China di Laut Cina Selatan konsisten dan jelas. Otoritas yang berwenang di China secara rutin menerbitkan peta standar dari berbagai jenis setiap tahun, yang bertujuan untuk membuat peta standar tersedia bagi semua sektor masyarakat dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan penggunaan peta standar. Kami berharap pihak-pihak terkait dapat melihatnya secara obyektif dan rasional."[5] Pernyataan tersebut sontak menjadi ancaman bagi kedaulatan negara-negara yang telah diklaim wilayah kedaulatannya.
Negara-negara yang terlibat dalam konflik Laut China Selatan, seperti China, Taiwan, Filipina, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Malaysia, memiliki tiga alasan utama untuk saling bersaing dalam memperebutkan wilayah di Kepulauan Paracel dan Spratly. Pertama, wilayah tersebut kaya akan sumber daya alam, termasuk minyak, gas bumi, dan kekayaan laut lainnya. Kedua, wilayah ini merupakan jalur perdagangan internasional yang penting, terutama bagi perdagangan antara Eropa, Amerika, dan Asia. Ketiga, pertumbuhan ekonomi yang pesat di Asia mendorong negara-negara seperti China dan negara-negara di sekitar Laut China Selatan, termasuk Amerika Serikat, untuk mengendalikan dan memperluas pengaruh mereka di wilayah tersebut yang dianggap strategis dan sangat menguntungkan secara ekonomis.[6]
Â
Kepentingan AS di Laut China SelatanÂ
Dalam konflik laut China Selatan, kepentingan Amerika Serikat tentu sangat menarik untuk diulas. Terlebih dengan semakin masifnya pergerakan China dalam menguasai dan menjadikan Laut China Selatan menjadi wilayahnya. Dengan memahami kepentingan AS, diharapkan penjabaran terkait dengan upaya yang dilakukan oleh negara-negara yang tertindih oleh Ten dash line terutama Indonesia mampu memahami langkah serta upaya yang semestinya dilakukan terkhusus dalam "kepentingan di Laut China Selatan". Â
Dominasi AS dalam ekonomi dan militer global maupun di wilayah Asia Pasifik menjadi tantangan bagi perkembangan ekonomi dan militer China. AS telah menjadi kekuatan dominan dalam perekonomian global sejak akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, yang sejalan dengan perkembangan kekuatan militer mereka. Ketika China mulai terlibat dalam sistem ekonomi global dan institusi multilateral seperti WTO, hal ini menciptakan ketergantungan antara kedua negara dan menyebabkan konflik yang sering mewarnai hubungan mereka.[7]
Menurut teori Donald E. Nuechterlin, Amerika Serikat memiliki tiga kepentingan utama dalam konflik Laut Cina Selatan. Pertama, kepentingan pertahanan, yang meliputi mempertahankan akses tanpa hambatan ke perairan tersebut dan menjaga perdamaian serta stabilitas regional. Kedua, kepentingan ekonomi, khususnya dalam jalur perdagangan internasional yang sebagian besar melintasi wilayah perairan ini. Ketiga, kepentingan dalam tata dunia, di mana Amerika Serikat berusaha untuk menjaga kekuatan dominan mereka di kawasan Asia Pasifik dan mendorong negara-negara yang terlibat untuk patuh pada hukum laut internasional.[8]
Pada kepentingan pertama, Amerika Serikat memiliki kepentingan untuk mempertahankan perdamaian dan stabilitas di kawasan Laut China Selatan. Konflik dan ketegangan di wilayah ini dapat berdampak negatif pada stabilitas regional dan mengancam kepentingan Amerika Serikat serta sekutunya. Oleh karena itu, Amerika Serikat berupaya untuk memainkan peran sebagai penengah dan pendukung perdamaian di kawasan tersebut.
Pada kepentingan Kedua, Amerika Serikat tentu memiliki kepentingan strategis untuk memastikan akses tanpa hambatan ke perairan Laut China Selatan. Jalur perdagangan laut yang melintasi wilayah ini merupakan jalur vital bagi perdagangan global, termasuk bagi Amerika Serikat dan sekutunya. Oleh karena itu, memastikan keamanan dan kestabilan di wilayah ini penting bagi kepentingan ekonomi dan keamanan Amerika Serikat.
Terakhir merupakan upaya Amerika Serikat untuk mempertahankan posisinya sebagai hegemon atau kekuatan dominan di kawasan Asia Pasifik. Dalam konteks ini, AS berusaha untuk menegakkan kepatuhannya terhadap hukum laut internasional, yang mungkin melibatkan penyelesaian konflik di kawasan tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku. Upaya ini bisa mencakup advokasi untuk memperkuat aturan-aturan yang mengatur tata kelola laut dan sumber daya alam di kawasan Asia Pasifik, serta menekankan pentingnya kepatuhan terhadap aturan-aturan tersebut oleh negara-negara yang terlibat dalam konflik di wilayah tersebut.
 Â
Upaya yang dapat dilakukan Indonesia dalam mengatasi hegemoni China di Laut China Selatan
- Penguatan diplomasi pertahananÂ
Diplomasi adalah upaya yang dilakukan oleh entitas dalam hubungan internasional untuk mencapai tujuan mereka secara damai tanpa memicu konflik lebih lanjut. Diplomasi sering kali melibatkan penggunaan soft power, seperti hubungan diplomatik dan negosiasi, untuk menghindari penggunaan hard power, yaitu kekuatan militer. Negara adalah salah satu aktor utama yang menggunakan diplomasi secara intensif untuk mencapai kepentingan nasionalnya di dunia internasional.[9]
Oleh karena itu, Indonesia diharapkan dapat memainkan peran yang sangat penting dalam diplomasi. Indonesia telah membentuk hubungan internasional melalui pendekatan diplomasi proaktif, membangun kerja sama yang erat dengan berbagai negara. Di panggung internasional, keahlian dalam diplomasi diharapkan dapat berkontribusi dalam penyelesaian konflik, terutama yang berskala regional maupun global, termasuk dalam upaya menangani isu Laut China Selatan yang melibatkan China.
- Pengubahan status Lanal Ranai
Konsep ini menggabungkan kekuatan Angkatan Laut dan Angkatan Udara, karena sebagai negara kepulauan, Indonesia membutuhkan respons cepat dalam menghadapi situasi. Sinergi antara Angkatan Laut dan Angkatan Udara menjadi penting, seperti yang terlihat dari peran Lanud Ranai di Natuna, Lanud Roesmin Nurjadin di Pekanbaru, dan Lanud Supadio di Pontianak, yang mendukung keberadaan Lantamal Ranai.Â
Peningkatan status Lanal Ranai menjadi Lantamal dilakukan karena Kepulauan Natuna sering mengalami ancaman atau gangguan keamanan dari negara asing, mulai dari sengketa kepemilikan dengan Malaysia hingga masalah dengan China. Lanal ini akan ditingkatkan menjadi Lantamal (pangkalan kelas A), dengan tiga lanal yang dibangun di Pulau Sekatung, Pulau Subi Kecil, dan Pulau Kepala. Tiga pulau terluar Indonesia ini di Kepulauan Natuna dianggap rawan dari segi pertahanan dan keamanan.[10]
- Penguatan Coast Guard Indonesia.
Dalam hal ini, kendati Indonesia saat ini memiliki tugas rumah dalam mensatukan stakeholder terkait dengan keamana laut yang ada di Indonesia. Upaya penguatan Coast Guard Indonesia harus diperhatikan. Dengan konflik Laut China Selatan yang dihadapi China tentu memiliki armada kapal Coast Guard yang canggih. Dengan sistem radar yang telah merata dan alat komunikasi nelayan yang terintegrasi dengan coastguardnya, Indonesia harus mampu mengatasi kekurangan yang ada. Penguatan Coast Guard baik dalam segi aturan dan fasilitas penunjang patroli mampu mengurangi dan mengatasi persoalan yang ada.
- Pemberdayaan nelayan natuna.
Pemberdayaan nelayan di Natuna dalam mencari ikan dan menghadapi kasus pencurian ikan oleh asing dapat dilakukan melalui beberapa langkah strategis. Pertama, pemerintah dapat memberikan pelatihan dan pendidikan kepada nelayan tentang teknik penangkapan ikan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Ini dapat membantu nelayan meningkatkan hasil tangkapannya tanpa merusak ekosistem laut.Â
Kedua, pemerintah dapat memberikan bantuan dalam hal peralatan dan teknologi modern yang dapat membantu nelayan dalam menemukan lokasi ikan yang potensial dan meningkatkan efisiensi penangkapan. Serta dapat membantu bagi para petugas dalam membantu mengawasi Illegal fishing yang marak terjadi. Â
[2] Damastuti, T. A., Hendrianti, R. C., Laras, R. O., & Agustina, R. (2018). Penyelesaian Sengketa Ilegal Fishing Di Wilayah Laut Natuna Antara Indonesia Dengan China. Jurnal Reformasi Hukum: Cogito Ergo Sum, 1(2), 51-58.
[3]Febriansyah Rahmat Maulana, dkk. 2020. Analisis Putusan Permanent Court of Arbitration Terhadap Klaim Nine Dash Line: Studi Kasus Klaim Wilayah Natuna Utara. Universitas Jambi. Jurnal Hukum Internasional. Vol. 1 No. 2
[4] Singh, A., Koh, C., Bhatt, P., Jash, A., Lanba, A. S., & Singh, C. A. J. (2023). China's new 10-dash line in the South China Sea: Implications for India.
[6]Muhar Junef, "Sengketa Wilayah Maritim Di Laut Tiongkok Selatan, " Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol. 18, No. 2, (Juni 2018): 219-2390
[7] Hufbauer, Gary Clyde dan Woollacoot, Jared C. Trade Dispute Between China and United States : Growing Pains so Far, Worse Ahead? Dalam Herrmann C dan Terhechte, J.P ( eds ) European Yearbook of International Economic Law ( EYIEL ) Vol. 2 ( 2012 ).
[8] Bidara, M. A., Mamentu, M., & Tulung, T. (2018). Kepentingan Amerika Serikat Dalam Konflik Laut Cina Selatan. Jurnal Eksekutif, 1(1).
[9] Samy, M., & Kusumadewi, J. A. (2021). Diplomasi Pertahanan Militer Indonesia dalam Menghadapi Ancaman Keamanan Non-Tradisional: Upaya Mewujudkan Visi Poros Maritim Dunia. Jurnal Hubungan Internasional, 14(1), 45-62.
[10] Indrawan, R. M. J. (2018). Peningkatan Status Lanal Ranai Menjadi Lantamal: Strategi Indonesia Sebagai Antisipasi Ancaman China di Natuna. Mandala: Jurnal Ilmu Hubungan Internasional, 1(1), 124-143.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H