Berlmula pada tahun 1985 yang mempertemukan 5 negara yang pada saat itu berpengaruh pada ekonomi dunia. Diantara lain Jerman, Prancis, Ingris, Amerika Serikat serta Jepang yang menghasilkan Plaza Accord.Â
Dikutip dari wikipedia Plaza Accord adalah Suatu kesepakatan antara pemerintah- pemerintah Prancis, Jerman Barat, Jepang, Amerika Serikat dan Britania Raya yang menyetujui untuk dilakukannya depresiasi atas dolar AS terhadap yen Jepang dan Mark Jerman, melalui intervensi di pasar-pasar mata uang.Â
Kelima pemerintah menandatangani kesepakatan tersebut pada tanggal 22 September 1985 di Hotel Plaza, kota New York. Alasan mengapa kesepakatan ini penting adalah mengingat Jepang dan negara negara di Eropa berjalan surplus namun pertumbuhan ekonominya negatif. Melalui Plaza Accord tersebut diharapkan pertumbuhan ekonomi pada negara negara tersebut bisa menemukan titik terang.
Jepang pada saat itu menjadi pusat perhatian ekonomi dunia karena mulai jadi pelaku dominan perekonomian global. Terutama saat mata uang yen meningkat tajam pasca penandatanganan Plaza Accord.Â
Pada masa ini Jepang harus bisa untuk bertahan dengan daya saing. Maka dari itu bank di Jepang menyalurkan pinjaman pada jumlah besar dengan bunga yang sangat rendah di dalam negeri. Untuk ke negara berkembang Jepang juga memberikan pinjaman untuk pembangunan infra struktur.Â
Hal tersebut juga dirasakan oleh Indonesia dan salah satu pemicu terjadinya tragedi di Indonesia yang kita kenal dengan peristiwa Malari. Pasca Plaza Accord Jepang memang se masive itu dalam segi ekonomi. Bahkan Jepang disebut sebagai negara kreditor terbesar didunia, bahkan jepang sempat di cap sebagai negara adidaya setelah Amerika Serikat pada kala itu.
Berlanjut pada dana pinjaman yang diberikan oleh bank di Jepang malah memiliki dampak bumerang untuk Jepang sendiri. Dengan keyakinan ekonomi di Jepang yang akan meledak bank di Jepang terus memberi pinjaman yang juga masive pada tahun 1990an awal.Â
Karna dari itu banyak perusahaan dengan background yang kurang jelas serta si peminjam dengan kemampuan pembayaran peminjaman yang juga kurang jelas yang tetap mendapatkan uang pinjaman dari bank negara.
Lalu keadaan ditambah parah dengan meningkatnya harga tanah serta bubble asset. Dikutip dari Investopedia, bubble asset atau gelembung aset terjadi ketika harga aset, seperti saham, obligasi, real estat, atau komoditas, naik dengan cepat tanpa fundamental yang mendasarinya, seperti permintaan yang sama-sama naik, untuk membenarkan lonjakan harga. Hal itu terjadi sampai tahun 2000an yang biasa dikenal dengan lost decade atau dekade yang hilang.
Dampak yang ditimbulkan dari penurunan ekonomi ini salah satunya adalah matinya satu generasi dikarenakan budaya di Jepang yang biasa dikenal dengan (Shshoku katsud).Â
Shshoku katsud atau yang biasa disingkat dengan sebutan Shukatsu ini adalah budaya di Jepang dimana para perusahaan besar biasanya mencari mahasiswa first graduate untuk bekerja dan biasanya pekerjaan itu akan terus dilakukan sampai pensiun. Menurut wikipedia pada bulan agustus sampai oktober adalah bulan dimana pemandangan pemuda dengan jas dan pakaian rapi sangat umum terutama di Tokyo.Â
Alasan dibalik perusahaan Jepang yang ingin para pegawainya kerja hingga pensiun adalah mereka ingin melakukan pengembangan pada para pekerjanya serta ingin pekerja jangka panjang sehingga para perusahaan tersebut lebih mencari first graduate jika dibandingkan lulusan yang bukan first graduate. Dan juga jika bukan first graduate maka dikhawatirkan orang tersebut memiliki kemampuan yang sedikit menurun karena sempat tidak memiliki pekerjaan.Â
Hal tersebut memang merupakan culture di Jepang pada zaman itu bahkan hingga saat ini, mereka juga mementingkan loyalitas pada para pekerjanya untuk menghindari pindah ketika di tengah pekerjaannya.Â
Untungnya ini jelas sangat berbeda jika dibandingkan dengan budaya pekerja Indonesia yang bisa berhenti di tengah pekerjaan dan memilih penghasilan atau prospek yang lebih baik. Itu semua bisa memberikan kita gambaan jika di Jepang hanya ada satu kali kesempatan untuk kita bisa mendapatkan pekerjaan di perusahaan perusahaan besar.
From the 1990s onwards, Japan has experienced dramatic social and economic shifts that have changed the outlook on Japanese society significantly. Prolonged periods of low economic growth and recessions paired with structural change -- meanwhile dubbed as the "lost 20 years" -- coincided with a rapidly aging population and led to a pluralization of employment patterns, family structures and gender relations. these phenomena are interrelated in their causes and consequences, while especially the issues of social disparity and precarity have become focal points of social and economic research, consequently attracting significant media coverage and meanwhile leading to a sustainable shift in the self-perception of many Japanese. (Obinger, 2013)
Pada tahun 90an awal merupakan titik mula dimana lost generation ini mulai menghilang. Banyak perusahaan yang biasanya mengelar Shukatsu pada setiap tahunnya ini tiba -- tiba tidak menerima pekerja seperti biasanya dikarenakan merket Jepang yang turun hingga 60%. Selain itu banyak perusahaan yang akhirnya bangkrut dan banyak yang tidak bisa membayar hutang.Â
Lalu para first graduate ini juga akhirnya tidak bisa mendapatkan pekerjaan seperti yang seharusnya. Hal itu dikarenakan semua perusahaan sedang berfokus pada resesi ekonomi yang sedang terjadi pada kala itu. Sehingga dampak pembekuan lapangan pekerjaan atau dalam bahasa Jepang dikenal dengan sebutan (Shshoku Hygaki) ini menyebabkan generasi yang hilang atau lost generation.Â
Dampak dari Shushoku Hyogaki bahkan terasa hingga sekarang, karena generasi yang hilang tersebut tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Alasannya setelah kemunduran ekonomi yang terjadi pada tahun 1990an sampa 2000an tersebut perusahaan lebih memilih untuk mengambil pekerja dengan label first graduate.Â
Mereka yang tumbuh di generasi yang hilang tersebut terpaksa untuk mengambil pekerjaan pekerjaan dengan bayaran yang murah, lalu hal tersebut membuat budaya modern di Jepang yang kita kenal sebagai hikikomori.
Semua hal tersebut terjadi dikarenakan culture yang salah namun tetap dipertahankan, maka timbulah hal tersebut. Hingga sekarang mereka yang termasuk kedalam korban lost generation tersebut masih struggle untuk menempuh hidup yang saat ini kita idam - idamkan ketika bekerja di Jepang. Karena itu tingkat angka stress di Jepang mengalami peningkatan, serta dikhawatirkan mereka yang akhirnya sampai melakukan tindakan kriminal dan akan sangat berbahaya.Â
Sudah kita ketahui tentang kasus joker di kereta beberapa tahun silam serta yang terbaru adalah penembakan mantan perdana mentri yang mungkin saja akibat dari angka stress di Jepang yang tergolong cukup tinggi.Â
Pemerintah sudah pernah melakukan penanganan dengan membuka lapangan pekerjaan namun tidak cukup efektif karena dari ribuan pendaftar yang diterima hanya ratusan saja.Â
Hal tersebut tidak bisa menutup angka lost generation yang tergolong hingga 20 jutaan orang. Sayangnya jika dihitung mereka yang tergolong dalam lost generation berada di umur angka 40an dimana seharusnya mereka sedang dalam di masa produktif jika melihat dari kacamata perusahaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H