Pemberantasan korupsi di negeri ini saat ini sedang menghadapi ujian berat.
Tiga pimpinan KPK, termasuk ketua KPK Agus Rahardjo telah menyerahkan mandat pengelolaan KPK kepada presiden pada Jumat (13/9/2019).
Maknanya apa?
Maknanya adalah tiga pimpinan KPK ini tidak lagi bertanggung jawab atas pengelolaan KPK sampai presiden mengambil tindakan yang dianggap perlu dalam rangka penyelamatan KPK.
Jika ditelusuri lebih lanjut sebenarnya ada 2 poin krusial terkait polemik  yang saat ini terjadi di KPK.
Pertama, masalah ketidakhadiran pansel pemilihan ketua KPK memenuhi undangan KPK terkait penelusuran rekam jejak capim KPK yang berdampak pada lolosnya beberapa capim KPK yang dianggap memiliki rekam jejak bermasalah oleh KPK.
Kedua, masalah revisi UU KPK yang tidak melibatkan unsur KPK sebagai salah satu stakeholder pemberantasan korupsi dalam pembahasannya.
Untuk poin pertama, DPR sudah memilih secara voting dan aklamasi 5 pimpinan KPK yang baru  pada Jumat (13/9/2019) dini hari. Irjen (Pol) Firli Bahuri (Kapolda Sumatera Selatan) terpilih sebagai ketua KPK periode 2019-2023.Â
Meskipun terpilihnya Irjen (Pol) Firli Bahuri yang berasal dari kepolisian menyisakan paradoks pemberantasan korupsi karena salah satu pertimbangan pembentukan KPK adalah lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi (kepolisian dan kejaksaan) belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, namun ada baiknya kita memberikan kesempatan kepada para pimpinan KPK terpilih untuk dapat melaksanakan tugasnya.Â
Jika ternyata kinerjanya tidak sesuai dengan harapan masyarakat luas, kita bisa melakukan cara-cara demokratis dengan meminta pertanggungjawaban DPR dan pemerintah untuk mengganti pimpinan KPK atau meminta secara langsung kepada pimpinan KPK untuk mengundurkan diri. Disamping itu, kita tidak perlu terlalu merisaukan siapa pun yang menjadi ketua KPK karena pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial sehingga semua keputusan KPK harus diputuskan secara bersama oleh kelima pimpinan KPK.
Untuk poin kedua, ini sebenarnya yang menjadi polemik. Bahkan masyarakat pun terbelah menjadi dua, ada yang menolak revisi UU KPK dan ada yang mendukung revisi UU KPK ini. Presiden sebenarnya telah menjawab usulan draf revisi UU KPK yang merupakan inisiatif DPR namun sepertinya masukan dari para pembantu presiden sedikit kurang tepat.Â
Misalnya, 2 dari 4 poin yang ditolak presiden memang tidak pernah ada dalam draf revisi UU KPK yang diusulkan oleh DPR. 2 poin tersebut adalah presiden tidak setuju dengan penyadapan oleh KPK harus meminta izin ke pengadilan dan presiden tidak setuju penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan saja.Â
Dalam draf revisi UU KPK yang diusulkan oleh DPR memang tak ada ketentuan bahwa KPK harus mendapat izin pengadilan sebelum menyadap terduga tindak pidana korupsi. Dalam draf revisi UU KPK, hanya diatur bahwa penyadapan dilaksanakan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas. Terkait penyidik dan penyelidik KPK hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan, dalam draf revisi UU KPK memang sudah diatur bahwa penyidik KPK tak hanya berasal dari kepolisian dan kejaksaan, namun juga bisa berasal dari PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil).Â