Mohon tunggu...
INS Saputra
INS Saputra Mohon Tunggu... Penulis - Profesional IT, praktisi, pengamat.

Profesional IT, praktisi, pengamat.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Polemik Ambang Batas Calon Presiden 2019

7 Juli 2017   19:29 Diperbarui: 23 Juli 2017   09:30 2508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: news.okezone.com

Sejak MK (Mahkamah Konstitusi) - melalui putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 - memutuskan pemilu presiden (pilpres) dan pemilu anggota lembaga perwakilan (DPD, DPR, DPRD) diselenggarakan secara serentak atau bersamaan, wacana menghilangkan ambang batas calon presiden (presidential threshold) di DPR dengan revisi UU Pemilu semakin marak.

Presidential threshold 0% bermakna siapa pun boleh mencalonkan diri menjadi presiden asal memenuhi syarat umum sebagai calon presiden sebagaimana diatur dalam UU.

Pada saat tulisan ini dibuat Partai Golkar, PDIP dan Partai NasDem adalah partai yang bersikukuh pada presidential threshold sebesar 20%-25%. Partai Gerindra dan Partai Demokrat menginginkan zero presidential threshold. PAN dan PKS menginginkan presidential threshold setidaknya sama dengan parliamentary threshold yang besarannya juga belum ditentukan, namun berkisar antara 3,5%-5%. Partai Hanura mengusulkan besaran presidential threshold 15%. PPP mengusulkan angka 15%-20%, sedangkan PKB mengusulkan angka kompromi 10%.

Secara logika sederhana sebenarnya dengan pilpres dan pemilu anggota lembaga perwakilan termasuk pemilu legislatif (pileg) diselenggarakan secara serentak, maka presidential threshold sudah tidak relevan lagi, karena bagaimana mungkin menentukan persyaratan ambang batas calon presiden dari persentase jumlah kursi di DPR sedangkan pemilu legislatif diselenggarakan bersamaan.

Namun demikian politik bukanlah masalah logika 0 dan 1. Politik adalah masalah konsensus, kesepakatan dan kompromi.

Jika harus ada presidential threshold, lalu angka manakah yang dapat dijadikan acuan?

Karena pilpres diselenggarakan bersamaan dengan pileg maka satu-satunya yang bisa dijadikan acuan adalah hasil pileg 5 (lima) tahun sebelumnya.

Konstitusionalkah ini?

Dalam putusan MK memang tidak secara eksplisit disebutkan bahwa karena pemilu presiden dan pemilu anggota lembaga perwakilan berlangsung secara serentak maka tidak ada lagi presidential threshold. Putusan MK tersebut lebih bersifat open legal policy atau kebijakan hukum terbuka, yakni pembuat UU (DPR dan Pemerintah) diberikan kesempatan secara terbuka untuk mengatur ketentuan (norma) di dalam UU. Namun demikian jika dianggap bertentangan dengan UUD 1945, bisa saja MK membatalkan syarat presidential threshold tersebut bila ada warga negara yang memiliki legal standing mengajukan gugatan ke MK setelah RUU Pemilu ini disahkan menjadi UU.

Penulis memiliki pandangan sendiri terkait persyaratan ambang batas calon presiden atau presidential threshold ini.

Menurut penulis, karena persentase kursi di DPR hasil pileg tahun 2014 yang lalu telah dijadikan acuan untuk pilpres di tahun yang sama maka sebaiknya tidak gunakan kembali untuk syarat pilpres tahun 2019 nanti. Jika persentase kursi di DPR hasil pileg tahun 2014 digunakan kembali untuk syarat presidential threshold pilpres tahun 2019 itu artinya persentase kursi di DPR hasil pileg tahun 2014 digunakan sebanyak dua kali.

Lalu bagamana solusi terbaiknya?

Seharusnya solusi terbaik untuk memecahkan masalah ini adalah dengan menerapkan ambang batas 0% (zero presidential threshold).

Dengan ambang batas calon presiden 0% ini maka semua partai politik nasional baik yang memiliki kursi di DPR, tidak memiliki kursi di DPR maupun partai politik baru dapat mengajukan calon presiden dan wakil presidennya.

Fair kah ini?

Menurut penulis cukup fair karena zero presidential threshold memberikan kesempatan yang sama kepada semua partai politik untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presidennya sehingga memberikan kesempatan munculnya tokoh-tokoh alternatif yang mungkin tidak didukung oleh partai-partai yang memiliki kursi mayoritas di DPR.

Namun kelemahan dari solusi ambang batas calon presiden 0% ini adalah:

  1. Calon presiden yang akan bersaing di pilpres 2019 akan cukup banyak, bisa lebih dari 10 pasangan calon. Pemilu berserta tahapan-tahapannya menjadi tidak lebih sederhana namun menjadi lebih rumit dan komplek. Kerja KPU pusat pun akan lebih banyak karena jumlah pasangan calon yang banyak, mulai dari verifikasi persyaratan administrasi sampai penetapan pasangan calon, apalagi pilpres akan diselenggarakan bersamaan dengan pemilu legislatif. Jadi dapat dikatakan bahwa ambang batas calon presiden 0% tidak menyederhanakan sistem pemilu dan partai politik kita, meskipun di sisi lain dengan ambang batas 0% ini akan memberikan kesempatan yang lebih luas kepada masyarakat untuk menentukan pilihan calon presidennya.
  2. Calon presiden yang terpilih dari tokoh dengan tingkat popularitas yang tinggi namun tidak cukup mendapatkan dukungan dari mayoritas anggota DPR akan kesulitan dalam menjalankan roda pemerintahan. Efektivitas dan kinerja pemerintahan bisa terganggu karena kurangnya dukungan dari DPR, meskipun presiden terpilih mendapatkan dukungan dari mayoritas rakyat/pemilih.
  3. Jika pemilihan Gubernur, pemilihan Walikota dan pemilihan Bupati saja ada syarat persentase kursi DPRD/persentase suara pemilih daerah untuk dapat mengusung pasangan calon kepala daerah, bagaimana mungkin pilpres yang lingkupnya nasional justru tidak ada. Idealnya semakin tinggi jabatan, maka persyaratannya semakin selektif dan ketat. Perlu diingat juga presiden di negara kita disamping sebagai kepala pemerintahan dan panglima tertinggi angkatan bersenjata (TNI) juga sebagai kepala negara. Jadi jabatan Presiden di negara kita sangat-sangat strategis.

Adakah solusi lain sebagai solusi jalan tengah dan akomodatif untuk memecahkan masalah ini?

Menurut penulis, pemakaian presidential threshold atau ambang batas presiden sudah tidak relevan lagi karena pilpres dan pileg diselenggarakan secara serentak. Penulis mengusulkan agar Pasal 9 UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilu Presiden yang sebelumnya berbunyi:

"Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota  DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden."

direvisi menjadi:

"Pasangan Calon diusulkan oleh  Gabungan paling sedikit 2 (dua) Partai Politik yang memiliki kursi di DPR hasil Pemilu anggota DPR sebelumnya atau Gabungan paling sedikit 4 (empat) Partai Politik yang tidak memiliki kursi di DPR/Partai Politik Baru yang telah memenuhi persyaratan verifikasi faktual KPU atau Kombinasi dari Gabungan paling sedikit 1 (satu) Partai Politik yang memiliki kursi di DPR hasil pemilu anggota DPR sebelumnya dengan Gabungan paling sedikit 2 (dua) Partai Politik yang tidak memiliki kursi di DPR/Partai Politik Baru yang telah memenuhi persyaratan verifikasi faktual KPU."

Argumentasi dari usulan ini adalah:

  1. Persentase jumlah kursi di DPR hasil pemilu legislatif tahun 2014 sudah digunakan sebagai acuan atau syarat pemilihan presiden tahun 2014, maka seharusnya tidak digunakan kembali sebagai syarat untuk pemilihan presiden tahun 2019.
  2. Karena sesuai UU yang mengusulkan calon presiden dan wakil presiden adalah partai politik maka seyogyanya semua partai politik (baik yang memiliki kursi maupun tidak memiliki kursi di DPR) berhak mengajukan calon dengan persyaratan tertentu. Partai-partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR atau partai baru diberikan syarat pencalonan sedikit lebih berat dibandingkan dengan partai-partai politik yang memiliki kursi di DPR.
  3. Pasangan calon presiden dan wakil presiden harus diusulkan oleh setidaknya 2 (dua) partai politik dimaksudkan agar satu partai dapat mengajukan calon presiden dan partai lainnya mengajukan calon wakil presiden berdasarkan asas proporsionalitas.
  4. Dengan usulan ini maka tidak ada lagi istilah ambang batas calon presiden (presidential threshold), namun semua partai politik diwajibkan menjalin kerjasama (koalisi) dengan paling sedikit 1 (satu) partai politik lainnya untuk partai politik yang memiliki kursi di DPR dan menjalin koalisi dengan paling sedikit 3 (tiga) partai politik lainnya untuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR/partai politik baru.
  5. Jika presidential threshold tetap dipertahankan 20% jumlah kursi DPR atau 25% suara sah nasional sebagaimana UU No. 42 tahun 2008 sebelum revisi, maka semua partai politik (termasuk PDIP dan Golkar) tidak dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden sendiri. Artinya, usulan pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden dari gabungan partai politik ini masih in line dengan kepentingan partai politik besar namun juga akomodatif terhadap kepentingan partai-partai politik menengah dan kecil. Bahkan partai-partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR/partai-partai politik baru juga dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presidennya dengan syarat tersebut di atas.

Dengan komposisi saat ini, yakni terdapat 10 (sepuluh) partai politik yang memiliki kursi di DPR (PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, PAN, PKB, PKS, PPP, Partai NasDem dan Partai Hanura), 2 (dua) partai politik tidak memiliki kursi di DPR karena tidak lolos parliamentary threshold pada pemilu legislatif tahun 2014 (PBB dan PKPI), dan 4 (empat) partai politik baru, dengan asumsi lolos verifikasi faktual KPU (Perindo, PSI, Partai Idaman dan Partai Berkarya) maka jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden maksimal adalah 6 (enam) pasangan calon.

Namun jika usulan kompromistis presidential threshold10% disetujui bersama oleh pemerintah dan DPR dan disahkan menjadi UU maka berdasarkan persentase jumlah kursi di DPR yang ada saat ini, hanya PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra dan Partai Demokrat yang dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden sendiri, sedangkan 6 (enam) partai politik lainnya (PAN, PKB, PKS, PPP, Partai NasDem dan Partai Hanura) harus berkoalisi setidaknya dengan satu partai politik lainnya. Jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden maksimal dengan presidential threshold 10% adalah 7 (tujuh) pasangan calon. Disamping itu dengan presidential threshold 10%, partai-partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR/partai-partai baru tidak dapat mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presidennya.

Demikian usulan penulis terkait polemik presidential threshold yang menyebabkan pembahasan revisi UU Pemilu berlarut-larut hingga belum selesai sampai saat ini.

Semoga tulisan ini bermanfaat dan dapat dijadikan pertimbangan oleh seluruh pemangku kepentingan termasuk anggota Pansus RUU Pemilu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun