WHAT? Logika berpikir macam apa yang mengartikan kata-kata "Apapun pilihan pasien harus kita hormati." dengan seberondongan kalimat-kalimat kacau mereka itu. Sementara saya masih berbaik sangka, jika mereka tidak menyamaartikan program nasional dengan program pemaksaan nasional.
Akhir dari perdebatan yang tidak imbang itu, saya dipaksa untuk menandatangani surat keterangan saksi. Saya berasumsi hal tersebut juga bagian dari intimidasi dan ancaman mereka.
"Kalau memang pasien tidak mau KB, kamu tanda-tangan surat pernyataan tidak bersedia itu."
Saya jawab,
"Lah apa urusannya saya yang tanda-tangan. Pasien dan keluarga pasien dong yang tanda-tangan."
"Sudah tanda tangan saja. Kamu tetap bertanggungjawab."
Lah orang-orang ini memang suka memaksa ya. Aneh banget.
"Tidak. Ini bukan tanggung jawab saya. Itu ada suami, kakak, dan saudara-saudaranya. Saya tidak bersedia tanda-tangan surat itu."
Setelah perdebatan tersebut saya kembali ke sisi Anisa yang semakin kesakitan menahan nyeri diperutnya. Astaga, sementara kami berdebat, harusnya waktunya bisa dipergunakan untuk segera menolong Anisa. Petugas kesehatan yang lain kembali mendekati Anisa. Berceramah panjang lebar tentang keluarga berencana. Anisa dan keluarga masih menolak, dan petugas-petugas tersebut semakin berapi-api bahu membahu menceramahi Anisa yang sedang sibuk meredam nyeri. Saya keluar.
***
Sebelum saya menjelaskan panjang lebar tentang perspektif saya terhadap kisah di atas, saya masih berhutang jawaban atas cercaan beruntun mereka. Karena tidak sempat menjawab pada saat itu, saya jawab di sini saja. Dengan besar harapan mereka membaca tulisan ini.