Pagi menjelang, embun menggantung di jendela, dan suara burung lain mulai bernyanyi di kejauhan.Â
Aku mengintip ke dalam kotak itu, ia masih di sana, tertidur dengan damai. Namun, menjelang siang, suara gesekan kecil terdengar.Â
Aku mendekat dan melihatnya mengepakkan sayap, mencoba keluar dari tempat perlindungannya.
Aku membuka kotak itu dan membiarkannya keluar. Dengan gemetar, ia terbang, berputar di dalam kamarku. Aku tersenyum, merasa lega.Â
Namun, anehnya, ia tidak keluar meskipun pintu kamarku terbuka lebar. Ia hanya terbang di sekelilingku, mendekat, lalu bertengger di atas jendela, bersuara lirih seperti berbicara dalam bahasa yang tak kupahami.
Aku bertanya-tanya, mengapa ia tidak segera terbang ke luar? Apakah ia takut? Apakah ia masih lemah? Ataukah, barangkali, ada sesuatu yang mengikatnya denganku, sebuah rasa asing yang tak biasa antara manusia dan seekor burung kecil?
Saat ia bertengger di telapak tanganku, tubuhnya terasa begitu ringan, namun aku bisa merasakan denyut kecil kehidupannya.Â
Ia mengatupkan matanya, lalu sesekali menggeliat, seolah menemukan kedamaian di tempat yang tidak seharusnya. Aku memandangnya dengan takjub, dan tanpa kusadari, sebutir air mata jatuh dari pelupuk mataku.
Siang semakin beranjak, dan aku mulai mempertimbangkan, apakah aku harus melepaskannya? Walet ini, yang seharusnya bebas mengepakkan sayapnya di angkasa luas, kini justru diam, seolah merasa nyaman di dalam ruang sempit ini.Â
Aku membuka jendela lebih lebar, berharap ia menemukan keberaniannya untuk pergi. Namun, ia masih bertahan, masih memandangku dengan tatapan yang sulit kumengerti.