Kenyataan yang tinggi itu tidak selama tinggi untuk dikenal lebih dalam, tetapi dengan merendahkan diri dia akan mengerti apa artinya di saat tertinggi | Ino Sigaze.
Sore itu, langit mengabu, seperti menyimpan tangisan yang tertahan. Angin yang berhembus membawa aroma tanah basah, menyatu dengan senja yang perlahan menyusut.Â
Aku melangkah memasuki halaman gereja dengan langkah perlahan, membawa keheningan dalam batin. Namun, di antara detak waktu yang sunyi, sesuatu jatuh dari ketinggian, terhempas ke tanah. Seekor burung walet.
Tubuh kecilnya gemetar, seakan kesakitan. Ia tampak tak berdaya, dan matanya yang redup menyiratkan kepasrahan.Â
Dadaku sesak melihatnya. Aku merunduk, meraih tubuh mungilnya dengan kedua telapak tangan, menggenggamnya seperti seorang ibu yang menghangatkan bayinya dalam sarang kasih. "Ayo hidup, hidup..." bisikku lirih.
Sejenak, aku merasakan denyut kecilnya di telapak tanganku. Lalu, tiba-tiba, ia bergerak, memberontak, seakan hendak terbang kembali ke angkasa.Â
Namun, senja telah menyentuh batas gelap, dan aku ragu. Bagaimana jika ia belum cukup kuat? Bagaimana jika ia terjatuh lagi, hilang dalam pekat malam yang tanpa belas kasihan?
Aku membawanya ke kamar, menempatkannya dalam sebuah kotak kolekte kayu yang telah kosong.Â
Malam merambat lambat, dan aku sesekali menatapnya dengan rasa cemas. Walet itu bernafas pelan, seakan menyerahkan dirinya pada takdir.Â
Mungkinkah ia memahami bahwa aku sedang berusaha menyelamatkannya? Atau ia hanya pasrah, seperti banyak makhluk kecil lain yang jatuh tanpa ada yang peduli?
Pagi menjelang, embun menggantung di jendela, dan suara burung lain mulai bernyanyi di kejauhan.Â
Aku mengintip ke dalam kotak itu, ia masih di sana, tertidur dengan damai. Namun, menjelang siang, suara gesekan kecil terdengar.Â
Aku mendekat dan melihatnya mengepakkan sayap, mencoba keluar dari tempat perlindungannya.
Aku membuka kotak itu dan membiarkannya keluar. Dengan gemetar, ia terbang, berputar di dalam kamarku. Aku tersenyum, merasa lega.Â
Namun, anehnya, ia tidak keluar meskipun pintu kamarku terbuka lebar. Ia hanya terbang di sekelilingku, mendekat, lalu bertengger di atas jendela, bersuara lirih seperti berbicara dalam bahasa yang tak kupahami.
Aku bertanya-tanya, mengapa ia tidak segera terbang ke luar? Apakah ia takut? Apakah ia masih lemah? Ataukah, barangkali, ada sesuatu yang mengikatnya denganku, sebuah rasa asing yang tak biasa antara manusia dan seekor burung kecil?
Saat ia bertengger di telapak tanganku, tubuhnya terasa begitu ringan, namun aku bisa merasakan denyut kecil kehidupannya.Â
Ia mengatupkan matanya, lalu sesekali menggeliat, seolah menemukan kedamaian di tempat yang tidak seharusnya. Aku memandangnya dengan takjub, dan tanpa kusadari, sebutir air mata jatuh dari pelupuk mataku.
Siang semakin beranjak, dan aku mulai mempertimbangkan, apakah aku harus melepaskannya? Walet ini, yang seharusnya bebas mengepakkan sayapnya di angkasa luas, kini justru diam, seolah merasa nyaman di dalam ruang sempit ini.Â
Aku membuka jendela lebih lebar, berharap ia menemukan keberaniannya untuk pergi. Namun, ia masih bertahan, masih memandangku dengan tatapan yang sulit kumengerti.
Aku mengingat kembali saat pertama kali melihatnya jatuh di depan gereja tua itu. Aku mengingat bagaimana aku mengangkatnya, menggenggamnya dengan lembut, memberinya kesempatan untuk bertahan.Â
Dan kini, setelah satu malam bersama, aku merasakan ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pertolongan. Ada relasi, ada kehangatan yang muncul begitu saja, di luar kehendak dan logika.
Malam nanti, aku tahu, aku harus merelakannya. Aku tidak bisa menyimpannya selamanya. Ia bukan milikku. Ia adalah bagian dari langit, bagian dari kebebasan yang tak bisa kutahan.Â
Tetapi ada sesuatu yang akan tetap tinggal, sebuah kisah kecil tentang hidup, tentang jatuh dan bangkit, tentang tangan yang mengangkat dan kepercayaan yang diberikan tanpa syarat.
Aku pernah mengenal seekor walet. Dan walet itu, dalam dua hari yang singkat, telah meninggalkan jejak di hatiku yang tak akan pernah hilang.
Salam berbagi, Ino, 2 Februari 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI