Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Tangisan di Tikungan Jalan

24 Januari 2025   07:23 Diperbarui: 24 Januari 2025   08:51 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tangisan di tikungan telah menyayat hati, hingga lahir peduli. Mereka membutuhkan kesempatan untuk hidup sama seperti makhluk hidup lainnya | Ino Sigaze.

Selasa sore itu, pukul 16.15, setelah menyelesaikan makan siang dan menyambut rombongan retret pertama dari SMAAK Alvares di Rumah Retret Mageria, saya merasa ingin keluar sejenak. 

Entah mengapa, hati saya seperti terdorong untuk melangkahkan kaki ke luar gerbang rumah retret. 

Di sebuah tikungan, pandangan saya tertuju pada sebuah kardus kecil yang tergeletak di tepi jalan.

Awalnya, saya hanya ingin memindahkan kardus itu yang terlihat tak teratur, tapi langkah saya terhenti saat mendengar suara kecil yang hampir tidak terdengar, lemah, nyaris tenggelam dalam suara angin sore. 

Saya mendekat, dan di sana, di sebelah kardus yang sudah rusak itu, ada tiga anak kucing mungil. Dua berwarna putih dan satu berwarna cokelat. 

Tubuh mereka gemetar, kulit mereka kotor, dan mata mereka menyiratkan ketakutan serta kesedihan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Hati saya seperti terbelah. Bayangkan, makhluk-makhluk kecil ini, tanpa ibu, tanpa perlindungan, ditinggalkan begitu saja di pinggir jalan seperti barang yang tak lagi diinginkan. 

Saya tidak tahu berapa lama mereka sudah berada di sana, tapi melihat kondisi mereka, saya tahu mereka sedang bertarung untuk hidup. 

Dengan hati yang berat, saya memindahkan mereka ke depan kamar saya, berjanji dalam hati bahwa saya akan merawat mereka sebaik yang saya bisa.

Tangisan kucing di tikungan jalan | Dokumen pribadi oleh Ino Sigaze.
Tangisan kucing di tikungan jalan | Dokumen pribadi oleh Ino Sigaze.

Semalam berlalu, dan suara mereka yang lirih terus menghantui telinga saya. Setiap mengeong, hati saya seperti tersayat. Saya merasa seolah mendengar tangisan bayi manusia, bayi yang kelaparan dan memanggil ibunya yang tak kunjung datang. 

Saya mencoba memberi mereka susu Bear Brand, tapi mereka hanya meminumnya sedikit, seperti tak tahu cara bertahan.

Pada dini hari tanggal 22 Januari, pukul 3 pagi, suara mereka tiba-tiba menjadi lebih keras, seperti seruan dari jiwa yang putus asa. 

Saya terbangun, mengambil mereka satu per satu, dan mencoba menenangkan tangisan mereka. 

Saat itu, saya membawa mereka masuk ke kamar, berharap mereka merasa aman meskipun untuk sementara. 

Namun, pagi itu saya berpikir untuk mencoba hal lain. 

Saya membawa mereka ke tempat yang lebih jauh, berharap induknya akan menemukannya dan memberi mereka kehidupan yang lebih baik.

Tapi, harapan itu pupus. Ketika malam tiba, salah satu dari mereka ditemukan mati di jalan. 

Pemandangan itu menghantam hati saya dengan keras, seperti menonton nyawa kecil yang dipaksa menyerah pada dunia yang kejam. 

Saya merasa bersalah, bertanya-tanya apakah ada yang bisa saya lakukan lebih baik untuk menyelamatkannya.

Hari ini, tanggal 24 Januari, saya memutuskan untuk kembali merawat dua kucing yang tersisa. 

Dengan hati yang dipenuhi luka, saya memberi mereka susu Bear Brand dan menjemur tubuh kecil mereka di bawah sinar matahari pagi. 

Saya memandangi mereka, dan air mata saya jatuh tanpa bisa ditahan. Mereka bukan sekadar kucing. Mereka adalah nyawa kecil yang pantas mendapatkan kasih sayang, sama seperti manusia yang pantas untuk dicintai.

Bayangkan, jika mereka bukan kucing, melainkan bayi manusia yang dibiarkan menangis sendirian di pinggir jalan. Apakah kita akan membiarkannya begitu saja? 

Apakah kita akan menutup mata pada penderitaan mereka? Saya tidak bisa.

Anak-anak kucing ini mengajarkan saya satu hal penting: cinta tidak seharusnya dibatasi pada siapa atau apa. Di mata Tuhan, setiap makhluk hidup adalah berharga. 

Dan jika mereka datang ke jalan hidup saya, mungkin itu adalah cara Tuhan mengingatkan saya untuk belajar lebih banyak tentang belas kasih.

Saya tidak tahu apakah saya mampu menjaga mereka tetap hidup. Tapi saya tahu satu hal pasti, saya akan melakukan apa pun untuk memberi mereka kesempatan. Bahkan jika dunia ini terlalu keras bagi mereka, mereka layak mendapatkan cinta, meskipun hanya sesaat.

Salam berbagi, Ino, 24 Januari 2025.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun