Tangisan di tikungan telah menyayat hati, hingga lahir peduli. Mereka membutuhkan kesempatan untuk hidup sama seperti makhluk hidup lainnya | Ino Sigaze.
Selasa sore itu, pukul 16.15, setelah menyelesaikan makan siang dan menyambut rombongan retret pertama dari SMAAK Alvares di Rumah Retret Mageria, saya merasa ingin keluar sejenak.Â
Entah mengapa, hati saya seperti terdorong untuk melangkahkan kaki ke luar gerbang rumah retret.Â
Di sebuah tikungan, pandangan saya tertuju pada sebuah kardus kecil yang tergeletak di tepi jalan.
Awalnya, saya hanya ingin memindahkan kardus itu yang terlihat tak teratur, tapi langkah saya terhenti saat mendengar suara kecil yang hampir tidak terdengar, lemah, nyaris tenggelam dalam suara angin sore.Â
Saya mendekat, dan di sana, di sebelah kardus yang sudah rusak itu, ada tiga anak kucing mungil. Dua berwarna putih dan satu berwarna cokelat.Â
Tubuh mereka gemetar, kulit mereka kotor, dan mata mereka menyiratkan ketakutan serta kesedihan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Hati saya seperti terbelah. Bayangkan, makhluk-makhluk kecil ini, tanpa ibu, tanpa perlindungan, ditinggalkan begitu saja di pinggir jalan seperti barang yang tak lagi diinginkan.Â
Saya tidak tahu berapa lama mereka sudah berada di sana, tapi melihat kondisi mereka, saya tahu mereka sedang bertarung untuk hidup.Â
Dengan hati yang berat, saya memindahkan mereka ke depan kamar saya, berjanji dalam hati bahwa saya akan merawat mereka sebaik yang saya bisa.