2. Perpustakaan itu bagaikan fondasi ilmu
Dalam ranah ilmu pengetahuan, orang tidak bisa hidup dalam pengandaian bahwa perkembangan ilmu pengetahuan itu semata-mata terjadi secara otomatis berkat kontak sosial dalam keseluruhan proses belajar mengajar.
Hal ini karena kontak sosial selalu memiliki ruang yang terbatas pada kenikmatan hobi dan pilihan, selera dan tren zaman, sedangkan buku-buku umumnya merupakan kajian dan pengalaman bijak, inspirasi, dan sorotan kritis manusia yang bisa dipertanggungjawabkan secara nalar.
Oleh karena itu, jika di awal tahun ajaran itu sendiri orang kehilangan gairah untuk bersentuhan dengan buku dan perpustakaan, maka sebenarnya orang sudah kehilangan roh sebagai seorang ilmuwan.
Dalam hal ini, saya ingin mengatakan di awal tahun ajaran siapa saja yang bersentuhan dengan dunia pendidikan perlu menyadari hubungan itu dan perlu adanya refleksi dan upaya perubahan konsep cara berpikir tentang ketergantungan pada buku dan dialektika tanpa batas antara pendidikan, literasi, dan buku itu sendiri.
3. Perpustakaan itu rahim ilmu yang menepis hoaks
Dunia kita saat ini dengan segala macam tren perkembangan teknologi komunikasi telah begitu jauh menyeret banyak orang pada hilangnya kesadaran tentang perpustakaan sebagai rahim ilmu.
Bagi saya, pilihan untuk membaca sebuah buku sama dengan masuk kembali kepada ruang kesadaran tentang rahim yang memiliki keterbukaan tanpa batas pada ilmu dan perkembangan cakrawala berpikir manusia.
Buku itu seperti rahim manusia. Pada buku, orang menemukan gagasan-gagasan dan konsep berpikir, tetapi juga orang menemukan kelemahan cara berpikir dari masing-masing penulis.
Meskipun demikian, orang tidak boleh lupa bahwa dari kekurangan itulah pembaca diberikan kesempatan belajar untuk menyempurnakan diri sendiri dan mengoreksi dirinya.
Jadi, sebenarnya tidak ada yang namanya sia-sia jika ada satu perjumpaan di awal tahun ajaran ini dengan sebuah buku misalnya.