Dinamika politik tentu saja punya matematikanya sendiri dan karena itu sulit ditebak ke arah mana perjalanan partai-partai oposisi. Logika yang perlu dikaji lagi tentu saja berkutat antara apakah partai yang kalah di atas ring pemilu 2024 menjadi Presiden dan wakil Presiden selalu otomatis menjadi oposisi?
Pada prinsipnya, partai apa saja bisa menjadi partai oposisi, tetapi tidak harus bahwa partai yang kalah di pesta demokrasi 2024 menjadi oposisi.Â
Berdiri di poros oposisi lebih merupakan pilihan politik dengan visi yang sama untuk menjaga keseimbangan roda perputaran demokrasi tanpa mengeliminasi kepentingan rakyat kecil.
Apakah Partai Pendukung Ganjar-Mahfud dan Amin Menjadi Oposisi?
Rekaaan publik tentu saja merujuk pada prediksi tentang PDIP yang bakal menjadi oposisi dari gebrakan Gemoy, Prabowo-Gibran. Namun, sekali lagi lobi politik belum berakhir dan karena itu semuanya masih berada dalam catur perhitungan yang dinamis.
Di tengah ketidakpastian itu, tentu saja PDIP punya peluang ganda yang berpengaruh besar pada roda pemerintah Prabowo-Gibran.Â
PDIP akan menjadi representasi kekuatan besar yang bisa memiliki power control perjalanan demokrasi pada satu sisi, sedangkan pada sisi yang lain, PDIP bisa berubah menjadi partner politik yang paling dicari atas nama kepentingan keutuhan dan kemajuan bangsa ini.
Dalam hal ini sangat mungkin bahwa sekalipun kalah dalam laga pemilu demokrasi 2024 ini, PDIP tetap saja punya sikap politis yang berbeda yakni memilih koalisi dengan Prabowo dan Gibran.Â
Pasca Pemilu 2024 dan Pertanyaan Kritis
Jika prediksi tentang posisi PDIP ini menjadi kenyataan, maka akan menimbulkan pertanyaan: Apakah demokrasi kita berjalan normal atau dapat dipastikan bahwa demokrasi kita jatuh sakit kronis.
Ada dua kemungkinan yang bisa saja terjadi: Pertama, kekuatan oposisi tidak begitu keras bersuara karena hanya merupakan koalisi dari beberapa partai kecil. Kedua, jalan mulus menuju Indonesia emas semakin bisa diwujudkan.