Merawat kebudayaan Indonesia adalah pilihan penting yang mesti lahir dari kesadaran akan rasa cinta pada identitas bangsa dalam kancah globalisasi | Ino Sigaze
Pilihan isu budaya dalam kancah debat capres dan cawapres tentu saja sangat penting, bahkan bukan hanya soal ajang pesta demokrasi itu.
Kesadaran bahwa merawat budaya itu sangat penting tumbuh pada saat-saat perjumpaan saya dengan orang-orang Eropa dengan latar belakang budaya yang berbeda.
Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan mengapa bangsa ini perlu merawat kebudayaannya sendiri. Ada beberapa alasan yang bisa dilihat:
1. Kebudayaan bangsa kita yang plural telah membentuk pola pikir yang unik
Kesadaran tentang keunikan budaya bangsa Indonesia semakin tajam dan transparan ketika seseorang pernah mengambil jarak dengan budayanya sendiri dan berjumpa dengan budaya lain yang berbeda.
Dalam suatu pergulatan pribadi memahami budaya Eropa, saya pernah sampai pada satu titik kritis. Pada saat itu saya menemukan bahwa budaya suatu bangsa bisa dipahami melalui karya-karya anak bangsanya.
Karya seperti dunia perfilman itu paling nyata berbicara tentang budaya suatu bangsa. Indonesia, misalnya, tidak bisa menyangkal lagi dengan kenyataan budaya magis.
Konsep tentang hidup tidak bisa begitu saja ditentukan oleh faktor cara berpikir rasional seseorang karena orang masih mempercayai faktor di luar dirinya yang sangat kuat memengaruhi hidupnya.
Bahkan setiap jenis penyakit bisa ditafsir ganda oleh setiap pasien, meskipun hasil diagnosa dokter ahli sudah mengatakan secara sangat jelas.
Penyakit fisik itu bukan saja semata-mata karena faktor pola makan, gizi, dan kelainan fisik yang bisa dibuktikan secara medis, tetapi ada faktor di luar diri yang dipercaya menjadi penyebabnya.
Keyakinan budaya seperti itu telah membentuk pola pikir kita saat kita berbicara tentang suatu penyakit atau tentang keadaan pasien.
Pada tema pembicaraan seperti itu dari sudut pandang kita, ternyata orang Eropa tidak nyambung, sedangkan di mata orang Eropa kita ini salah sambung karena dianggap tidak rasional.
2. Budaya bisa menjadi basis sistematika berpikir
Sistematika berpikir tentu saja sangat ditentukan oleh faktor budaya di mana seseorang hidup. Sebagai orang Indonesia, tentu saja kita lahir dan besar dipengaruhi oleh budaya kita.
Bahkan bisa dikatakan budaya dan cara berpikir kita begitu menyatu. Kesadaran ini tumbuh ketika suatu waktu di tahun 2017 saya berkenalan dengan seorang Swiss yang sama-sama belajar bahasa Yunani saat itu.
Tampak sekali dalam pembicaraan kami, dia adalah orang yang sangat langsung dan lurus, apa saja yang ingin dikatakannya, dikatakannya secara langsung dan terus terang.
Bagi saya sebagai orang Indonesia, terdengar seperti teman saya itu tidak memiliki perasaan. Kadang saya terkejut, dia bisa mengkritik secara langsung dosen yang mengajar dengan sangat langsung, yang bagi orang Indonesia mustahil untuk mengatakan seperti itu.
Awalnya saya tidak mengerti mengapa pola pikir orang Swiss seperti itu. Nah, ketika saya berjalan-jalan ke Swiss dan saya melihat dan mengalami sendiri, ternyata cara berpikir orang Swiss itu seperti cara mereka membangun jalan raya.
Kebanyakan ditemukan di sana jalan lurus, gunung-gunung dibor jadi terowongan sehingga tetap lurus. Nah, kalau saya jujur dengan latar belakang saya sebagai orang Flores dan budaya orang Flores sangat jelas.
Jalan raya di Flores hanya sedikit yang lurus, kebanyakan berbelok-belok sampai pusing. Demikian juga cara bicara dan pola berpikir juga begitu, tidak bisa langsung ke pokok masalah.
Jadi, jelas budaya kita telah membentuk sistematika pola pikir dan cara pandang kita sendiri.
3. Budaya kita adalah simbol dari kekayaan perspektif
Budaya pada sisi positifnya memperlihatkan kekayaan perspektif yang luar biasa. Kekayaan budaya bangsa kita berbanding lurus dengan kekayaan perspektif yang dimiliki anak bangsa ini.
Dalam satu kesempatan diskusi dengan seorang Profesor Filsafat yang mengajar di sebuah Universitas di Jerman, dia menjelaskan tentang Filsafat Pluralisme dengan segala macam teori, namun setelah dia mengetahui bahwa saya berasal dari Indonesia.
Dia tersentak dan bertanya banyak tentang Indonesia karena dia tahu bahwa bangsa Indonesia punya budaya yang sangat banyak. Saya pada saat itu mencoba mengangkat satu contoh saja terkait lagu pop daerah.
Indonesia punya kekayaan pop daerah yang luar biasa dengan kekayaan filosofi masing-masing para seniman itu menyampaikan pesan-pesan budaya dengan tutur adat yang sangat dalam.
Kalau kita berbicara pop daerah, orang Eropa sudah ketinggalan sekali, mereka hanya punya lagu-lagu dengan bahasa ibu mereka sendiri dan itu bahasa tunggal.
Oleh karena itu tidak heran seperti di Jerman banyak penyanyi Jerman yang menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa Inggris daripada dalam bahasa Jerman.
Supaya bersaing dan menjadi populer, mereka menggunakan jasa penyiar para imigran dan pada saat itulah variasi lagu-lagu dari radio mereka menjadi lebih hidup karena di sana ada lagu-lagu dari berbagai dunia.
Dalam hal ini jelas bahwa perspektif tentang hidup sangat dipengaruhi oleh kekayaan perspektif budaya yang membentuk pola pikir seseorang.
Oleh karena itu, isu terkait merawat budaya sebenarnya adalah isu penting yang perlu mendapat perhatian publik dan anak bangsa ini. Kita generasi ini tidak berbangga, mencintai, dan merawat budayanya sendiri, ya siapa lagi?
Hanya melalui kesadaran tentang pentingnya budaya bangsa ini sebagai bagian dari identitas bangsa, maka pilihan merawat budaya akan menjadi pilihan prioritas.
Salam berbagi, Ino, 9 Februari 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H