Saat hari semakin sore, ibu duduk sambil menjulurkan kakinya lurus ke arah pintu. Ia menatap ke pintu, menantikan kedatangan anak dan cucunya. Ia menunggu dengan penuh rindu.
Lama ia duduk sendirian di sana tanpa ada yang bertanya mengapa ia harus berada di situ. Mungkin, ketika ia menjadi buta dan pikun, tak ada lagi waktu untuk merenung masa muda dan kegembiraan bersama teman-temannya dulu?
Ibu tidak perduli siapa yang mendekat, selalu diajukan pertanyaan yang sama, "Kapan anak saya pulang?"
Pulang untuk menemui sang ibu adalah pertemuan yang penuh rindu, diwarnai oleh pertanyaan yang sama dari waktu ke waktu.
Menulis kenangan bersama ibu ibarat membuka kembali halaman-halaman buku kehidupan dan buku tentang masa depan.
Beribu kenangan tercatat indah dalam ingatan anak-anak dan cucu. Meski ia terlihat lusuh, pengorbanannya sejak dulu sudah tak terhitung.
***
Mulai dari rahim hingga air susu, ibu tidak pernah mengeluh, karena segalanya dilakukan untuk kehidupan buah hatinya yang paling dirindukannya dari waktu ke waktu.
Ibu hanya menghitung usia untuk berubah dan terlepas dari genggaman kasihnya. Sedikit lagi, mereka akan bersekolah dengan cita-cita setinggi langit.
Terasa mustahil saat masa kecil ibu memberikan sebuah buku, padahal aku belum bersekolah dan belum mengenal abjad apa pun. Saya mengingat itu dan merasa bahwa ibuku buta sejak dulu.
Namun, mengapa kenangan itu masih utuh tersimpan dalam benakku? Ibu waktu itu tidak pikun. Ia rupanya menyimpan cita-cita bisu, bahwa suatu saat anaknya akan memiliki buku dan menulis buku.
Itu adalah pelajaran tersembunyi yang menjadi terang saat saya bertanya mengapa saya perlu menulis tentang ibu. Sejarah menulis kembali terhubung dengan simbol-simbol masa kecil.
Ketika sang ibu menjadi buta, ia meninggalkan harapan pada anaknya yang bisa melihat lebih jauh dari paruh waktu yang tidak terhitung.
***
Ibu menjunjung bakul bekal untuk masa depan anak cucu. Pernah suatu waktu ibu menunjukkan kepalanya yang seakan tergores beban karena terlalu sering menanggung beban.
Ingin menangis dan mempertanyakan mengapa ibu harus melakukannya. Ketika sang ibu buta, ia tidak lagi bisa melihat goresan beban pada kepala dan bahunya.
Ia hanya bisa berkeluh dalam bayangan mimpi perubahan pada anak dan cucu. Biarlah bebanku menjadi cambuk, agar kalian dapat memikulnya dengan lebih ringan.
Ini adalah petuah bisu dari ibu. Sang ibu begitu total memberi pelajaran hidup bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan nyata.
"Aku seperti ini, agar kamu tidak pernah seperti itu." Itu adalah petuah tanpa kata-kata dari sang ibu yang hidup jauh dari kemajuan ilmu pengetahuan saat itu.
Ia tidak bisa membaca buku, tapi ia bisa membuka halaman baru buku kehidupan dan masa depan bagi anak-anak dan cucunya.
Apa yang tetap melekat dalam ingatan sang ibu yang sudah menjadi buta dan pikun? Ingatan sang ibu bukan lagi tentang fisik dan rupa yang bisa berubah seiring waktu.
***
Ia mengenal setiap anak dan cucunya dengan ciri khasnya masing-masing, bukan hanya dari penampilan seperti kisah-kisah lama. Ia mengenal suara anak dan cucu.
Ini sungguh luar biasa. Meskipun tiga tahun tidak pernah bertemu, dengan tubuh yang hanya dapat dilihat setengah bagian dari mata yang mulai kabur, ia perlahan-lahan buta, tetapi rindu ingin melihat anak dan cucu tetap ada.
Ketika saya mengatakan "Ine atau ibu," matanya menatapku dan bertanya, "Kamu sudah datang?" Tidak yakin dengan itu, saya mencoba bertanya sekali lagi, "Siapa yang ine maksud dengan „kamu“?"
Ia tersenyum, "Ya, kamu adalah anakku yang paling jauh." Itu adalah jawaban dari ibuku. Aku merangkul ibuku. Mengapa ibu mengenal suaraku? Jawabannya singkat, "Ya, kamu adalah anakku."
Kedekatan ibu dan anak memang tidak dapat dipisahkan oleh ruang dan waktu. Buta dan pikun bukanlah alasan untuk tidak mengenal anak dan cucu.
Dari suara, ia mengenal anak dan cucu. Suara, bagi sang ibu, adalah identitas. Suara yang sudah direkamnya sejak dalam kandungan masih tersimpan dalam memori sang ibu.
Memori kasih sayang dengan letupan suara khas seakan menjadi kunci pembuka komunikasi dengan sang ibu.
Ibu, mengapa ibu tidak mengatakan pada dunia sejak dulu bahwa dari suaramu kita dapat mengenali segalanya?
***
Saya ingat kisah lucu pada tahun 2012 lalu, ketika seorang teman mendapatkan kiriman koper-koper kosong. Semua koper itu terkunci dengan barisan nomor yang sudah diacak.
Saat itu, kami membuat undian tentang siapa yang akan bisa membuka kunci-kunci tersebut, dan dia akan mendapatkan uang sebesar 100.000.
Seolah itu adalah pelajaran yang sudah diajarkan lama oleh sang ibu. Saat itu, saya berhasil membuka 3 koper dalam waktu 20 menit.
Teman-teman saya heran dan mengangguk-angguk, bertanya bagaimana hal itu bisa terjadi.
Mereka ternyata belum mengerti bahwa harmoni itu dibangun dari suara yang sama dan gerakan yang serupa dari setiap nomor yang berbeda.
Membuat identifikasi antara suara dan perasaan yang sama pada barisan angka menjadi rahasia untuk mengenali kunci yang tertutup.
Itu juga adalah pelajaran sederhana dari sang ibu yang telah menjadi buta dan pikun.
Suara ternyata dapat menjadi kunci. Suara dapat membuka kunci-kunci yang terlupakan.
Suara dapat membuka komunikasi dengan semua orang. Suara dapat menjadi kunci kesuksesan. Suara dapat membuat orang tertawa dan menangis.
Suara dapat menjadi kunci keberhasilan. Dari suara orang sakit bisa menjadi sembuh. Dari suara orang yang merindukan seseorang, akan terdengar hembusan nafas legah dengan mata yang berbinar penuh harapan meski malu-malu.
Dari suara yang ada di sana, kita tahu bahwa di sana ada hidup. Dari suara orang, kita dapat saling mengenal dan belajar menjadi jujur dengan identitas yang diberikan sejak dalam kandungan oleh ibu.
Tanyakanlah pada setiap anak yang pernah mendengar suara sang ibu. Mereka pasti akan berkata, "Ibu, suaramu tetap terdengar sepanjang waktu."
Salam berbagi, Ino, 23 Desember 2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H