Dalam revisi UU MK, keberlanjutan tidak selalu sejalan dengan urgensi. Sejatinya, urgensi seharusnya diukur dari kualitas dan kredibilitas yang terjaga, bukan semata durasi masa jabatan | Ino Sigaze
Wacana revisi UU MK memang sedang ramai dibicarakan saat ini. Hembusan angin revisi UU MK ini terasa tidak jauh dari kasus sebelumnya baru-baru ini yang menyeret pemecatan ketua MK, Anwar Usman.
Apakah wacana revisi UU MK ini langsung berkaitan dengan kredibilitas ketua MK sebelumnya? Dugaan dan prediksi awam tentu saja ada, namun pertanyaan penting kita adalah apakah revisi UU MK itu terasa begitu urgen saat ini?
Kita tahu bahwa fokus dari wacana revisi UU MK itu sendiri berkaitan dengan masa jabatan hakim konstitusi, dari sebelumnya hanya 5 tahun menjadi 15 tahun atau sampai batas usia pensiun 70 tahun.
Tulisan ini lebih fokus menyoroti alasan mengapa revisi UU MK itu tidak urgen. Berikut ini alasannya:
1. Apa konsekuensi dari suatu masa jabatan yang lama tanpa kualitas dan kredibilitas?
Wacana revisi ini sebenarnya pada sisi tertentu menjadi cambuk yang memalukan bahwa mengapa di negeri ini orang hanya memikirkan soal lamanya waktu sebagai pejabat daripada berpikir tentang bagaimana kinerja yang bagus.
Kendala yang dihadapi tentu saja, jika keputusan revisi itu diterima, maka kemungkinan besar masa jabatan hakim konstitusi berubah menjadi 15 tahun atau sampai usia pensiunnya 70 tahun.
Bisa dibayangkan jika selama 15 tahun itu kinerjanya sebagai hakim konstitusi tidak jelas, maka kita sebenarnya sudah menentukan sendiri lamanya masa ketidakadilan di negeri ini selama 15 tahun.
Oleh karena itu, wacana revisi UU MK rupanya belum terlalu urgen untuk dibicarakan saat ini daripada pembicaraan tentang hakim konstitusi yang bekerja jujur dan adil tanpa berpihak pada kekuasaan.
2. Semakin sedikit waktunya, orang akan bekerja semakin maksimal