Wacana revisi UU MK bisa saja berkaitan dengan logika berpikir masyarakat Indonesia. Umumnya orang berpikir dengan logika seperti ini: Jika jabatan itu semakin empuk, maka alangkah baiknya bekerja semakin lama.
Apakah kita mau hidup dalam logika konyol itu? Tentu saja tidak. Nah, logika itu hanya akan merugikan supremasi hukum di negeri ini. Menerima rencana revisi bagi saya tentu saja sama dengan hidup dalam logika konyol itu.
Karena bukan tidak mungkin dalam waktu 15 tahun itu ada hal yang sebenarnya tidak pantas dilakukan atau memang sepantasnya harus dipecat, tetapi hanya karena Undang-undang sudah mengatur demikian, maka ia tetap dipertahankan.
Negara akan dirugikan dengan penetapan masa jabatan yang lama pada jabatan yang sangat strategis dan memengaruhi nama baik bangsa ini.
Oleh karena itu, sebaiknya revisi UU MK tidak perlu dilakukan hanya dengan alasan perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi.Â
Logika berpikir memang perlu diubah seperti: Jika semakin singkat masa jabatannya, maka orang perlu bekerja lebih maksimal.
Jika dia bekerja maksimal, maka kemungkinannya jabatannya akan diperpanjang, tapi sekali lagi tidak untuk 15 tahun masa jabatan.
3. Mahkamah Konstitusi sendiri tidak tahu tentang rencana revisi ini.
Terasa sekali bahwa seakan ada sabotase politik yang mau mengatur mahkamah konstitusi. Jika saja ada kepentingan yang lebih besar terkait reformasi hukum di Indonesia, semestinya perlu dibicarakan bersama dengan pihak MK.
Mengapa perlu adanya revisi kalau sebelumnya tidak ada sama sekali evaluasi terkait kinerja yang sedang berlangsung selama ini. Apakah kendali revisi lebih karena keinginan komisi tiga DPR?
Saya pikir prosedurnya tidak bisa langsung seperti itu, komisi tiga jauh sebelumnya perlu menerima berbagai informasi dan laporan termasuk evaluasi terkait MK untuk dibicarakan selanjutnya.