Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mengapa Revisi UU MK Tidak Mendesak Saat Ini?

4 Desember 2023   10:15 Diperbarui: 4 Desember 2023   10:36 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengapa Revisi UU MK Tidak Mendesak Saat Ini | Mkri.id

Dalam revisi UU MK, keberlanjutan tidak selalu sejalan dengan urgensi. Sejatinya, urgensi seharusnya diukur dari kualitas dan kredibilitas yang terjaga, bukan semata durasi masa jabatan | Ino Sigaze

Wacana revisi UU MK memang sedang ramai dibicarakan saat ini. Hembusan angin revisi UU MK ini terasa tidak jauh dari kasus sebelumnya baru-baru ini yang menyeret pemecatan ketua MK, Anwar Usman.

Apakah wacana revisi UU MK ini langsung berkaitan dengan kredibilitas ketua MK sebelumnya? Dugaan dan prediksi awam tentu saja ada, namun pertanyaan penting kita adalah apakah revisi UU MK itu terasa begitu urgen saat ini?

Kita tahu bahwa fokus dari wacana revisi UU MK itu sendiri berkaitan dengan masa jabatan hakim konstitusi, dari sebelumnya hanya 5 tahun menjadi 15 tahun atau sampai batas usia pensiun 70 tahun.

Tulisan ini lebih fokus menyoroti alasan mengapa revisi UU MK itu tidak urgen. Berikut ini alasannya:

1. Apa konsekuensi dari suatu masa jabatan yang lama tanpa kualitas dan kredibilitas?

Wacana revisi ini sebenarnya pada sisi tertentu menjadi cambuk yang memalukan bahwa mengapa di negeri ini orang hanya memikirkan soal lamanya waktu sebagai pejabat daripada berpikir tentang bagaimana kinerja yang bagus.

Kendala yang dihadapi tentu saja, jika keputusan revisi itu diterima, maka kemungkinan besar masa jabatan hakim konstitusi berubah menjadi 15 tahun atau sampai usia pensiunnya 70 tahun.

Bisa dibayangkan jika selama 15 tahun itu kinerjanya sebagai hakim konstitusi tidak jelas, maka kita sebenarnya sudah menentukan sendiri lamanya masa ketidakadilan di negeri ini selama 15 tahun.

Oleh karena itu, wacana revisi UU MK rupanya belum terlalu urgen untuk dibicarakan saat ini daripada pembicaraan tentang hakim konstitusi yang bekerja jujur dan adil tanpa berpihak pada kekuasaan.

2. Semakin sedikit waktunya, orang akan bekerja semakin maksimal

Wacana revisi UU MK bisa saja berkaitan dengan logika berpikir masyarakat Indonesia. Umumnya orang berpikir dengan logika seperti ini: Jika jabatan itu semakin empuk, maka alangkah baiknya bekerja semakin lama.

Apakah kita mau hidup dalam logika konyol itu? Tentu saja tidak. Nah, logika itu hanya akan merugikan supremasi hukum di negeri ini. Menerima rencana revisi bagi saya tentu saja sama dengan hidup dalam logika konyol itu.

Karena bukan tidak mungkin dalam waktu 15 tahun itu ada hal yang sebenarnya tidak pantas dilakukan atau memang sepantasnya harus dipecat, tetapi hanya karena Undang-undang sudah mengatur demikian, maka ia tetap dipertahankan.

Negara akan dirugikan dengan penetapan masa jabatan yang lama pada jabatan yang sangat strategis dan memengaruhi nama baik bangsa ini.

Oleh karena itu, sebaiknya revisi UU MK tidak perlu dilakukan hanya dengan alasan perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi. 

Logika berpikir memang perlu diubah seperti: Jika semakin singkat masa jabatannya, maka orang perlu bekerja lebih maksimal.

Jika dia bekerja maksimal, maka kemungkinannya jabatannya akan diperpanjang, tapi sekali lagi tidak untuk 15 tahun masa jabatan.

3. Mahkamah Konstitusi sendiri tidak tahu tentang rencana revisi ini.

Terasa sekali bahwa seakan ada sabotase politik yang mau mengatur mahkamah konstitusi. Jika saja ada kepentingan yang lebih besar terkait reformasi hukum di Indonesia, semestinya perlu dibicarakan bersama dengan pihak MK.

Mengapa perlu adanya revisi kalau sebelumnya tidak ada sama sekali evaluasi terkait kinerja yang sedang berlangsung selama ini. Apakah kendali revisi lebih karena keinginan komisi tiga DPR?

Saya pikir prosedurnya tidak bisa langsung seperti itu, komisi tiga jauh sebelumnya perlu menerima berbagai informasi dan laporan termasuk evaluasi terkait MK untuk dibicarakan selanjutnya.

Kekacauan sedang diperlihatkan kepada publik dan rupanya jabatan hakim konstitusi di masa transisi ini sedang menjadi sorotan sekaligus jadi rebutan dengan prediksi yang kompleks terkait siapa yang menjadi RI yang akan datang nanti.

Bisa saja dibalik wacana revisi UU MK ada hidden agenda tentang kasus-kasus besar dan juga masa depan bangsa ini.

Untuk apa mempertahankan jabatan, jika kinerja tanpa kualitas dan kredibilitas yang membawa wajah baru keadilan dan supremasi hukum negeri ini.

Salam berbagi, Ino, 4 Desember 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun