Pertama, sebagian orangtua memiliki konsep bahwa anak itu lahir dari rahimnya, sehingga dia tidak bisa memilih sendiri pasangan hidupnya tanpa persetujuan ibunya.
Kedua, status pendidikan yang setara itu sangat penting, karena menurut mereka, anak yang berpendidikan sarjana harus menikah dengan seseorang yang berpendidikan setidaknya sama.
Ketiga, pertimbangan soal agama. Bagi sebagian orang, menikah secara terhormat itu hanya mungkin jika pasangannya seagama.
Coba bayangkan, di dunia sekarang ini masih ada orangtua yang berpikir seperti itu.Â
Padahal, saya masih ingat cerita ibu saya tentang bagaimana pada tahun 1950-an suku-suku di Flores memiliki tradisi perkawinan yang sudah dimulai sejak seorang anak masih di bawah umur.
Para orangtua sudah memberikan tanda mata sebagai sarana ikatan hubungan yang dijodohkan kedua orangtua sejak anak itu berusia 5 tahun.
Praktisnya, tanda mata itu berupa satu batang gading. Perjanjian itu bisa saja dilakukan di tengah jalan dan tidak harus di rumah.
Orangtua yang memiliki anak laki-laki akan mengatakan kepada orangtua yang memiliki anak perempuan bahwa nanti anak laki-lakinya akan menikah dengan puterinya.
Pada tahun 1960-an, hal semacam itu terjadi, dan semua orang dalam suku itu menganggapnya normal. Bahkan, dari sisi lain, dianggap sebagai tanggung jawab orangtua yang bertanggung jawab.
Nah, fenomena seperti itu berhenti pada tahun 1970-an ketika para misionaris memperkenalkan mereka pada hakikat perkawinan.
Dalam perjalanan waktu di tahun 1980-an, tanda mata itu sudah tidak ada lagi, tetapi hal lain yang sangat kuat adalah tanggung jawab orang untuk bertanya secara resmi dalam forum adat tentang anak perempuan mereka.