Kedewasaan berpikir sangat diperlukan dalam setiap momen pesta demokrasi agar orang tidak mudah terprovokasi dan mampu menemukan solusi di tengah konflik kepentingan pribadi serta perangkat nilai dan aturan yang berlaku. | Ino Sigaze.
Pesta demokrasi di negeri ini telah meninggalkan catatan sejarah yang unik pada setiap pemilu. Catatan sejarah ini terbentuk karena setiap pemilu menghasilkan adagium, slogan, dan stempel baru pada lawan politik, baik terdengar positif maupun negatif.
Selain slogan dan adagium yang cenderung provokatif, tidak dapat dihindari bahwa setiap pemilu rakyat Indonesia bermain dengan nomor dan warna.
Rupanya, wajah media kita telah dipenuhi dengan slogan-slogan, adagium, angka, dan warna. Peraturan dan larangan juga mulai bermunculan untuk mengingatkan masyarakat agar berhati-hati menggunakan simbol-simbol tertentu.
Tulisan ini mencoba membahas fenomena penggunaan simbol ini dalam kaitannya dengan kedewasaan dalam kontestasi politik tanah air. Ada beberapa hal menarik yang perlu diperhatikan:
Mengapa Angka dan Warna Menjadi Penting di Masa Pemilu?
Manusia adalah pencipta angka dan warna. Angka dan warna muncul ke permukaan kehidupan ini karena kebutuhan manusia akan identifikasi dan kejelasan status sosial.
Angka dan warna tentu saja berkaitan dengan kejelasan. Tidak heran pada masa sekolah dasar tahun 1980-an, orang menyebut angka-angka itu sebagai ilmu pasti.
Pada angka dan warna, orang melihat kepastian, bukan keragu-raguan atau dilema. Lebih dari itu, sangat tergantung pada cara manusia menafsirkan dan memberikan arti pada angka dan warna yang ada.
Meskipun demikian, angka dan warna bukanlah keputusan akhir. Poin ini sangat penting dan perlu diingat. Penggunaan angka dan warna dalam konteks kehidupan sehari-hari bukanlah penentu dalam pemilu.
Jadi, mengapa kita takut atau sangat hati-hati dengan menyebut angka-angka dalam masa pemilu ini?