Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Diplomasi Meja Makan ala Jokowi dan Tafsiran Pesannya

1 November 2023   05:15 Diperbarui: 1 November 2023   05:31 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diplomasi meja makan ala Jokowi dan tafsiran pesannya| ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/Spt.

Diplomasi di meja makan dapat merupakan isyarat damai dan kedekatan hati, namun kita harus tetap waspada terhadap potensi godaan Yudas.

Di tengah suhu politik tanah air yang semakin naik, Jokowi melakukan sebuah model diplomasi yang biasa namun penuh makna. 

Gagasan diplomasi ala Jokowi sungguh menarik karena apa yang dilakukannya belum pernah dilakukan sebelumnya.

Apakah diplomasi ala Jokowi lahir karena faktor kecemasan bahwa akan ada hawa panas yang saling menghimpit, khususnya di kalangan lawan politik menjelang pemilu 2024 ataukah memang karena rasa tanggung jawabnya sebagai Presiden.

Ragam perspektif bisa saja muncul dari pemandangan model diplomasi ala Jokowi itu. 

Nah, tulisan ini berusaha menganalisis bagaimana model diplomasi itu sungguh efektif untuk meredam suasana kehidupan yang semakin menggejolak.

Diplomasi di Meja Makan

Dalam banyak kesempatan orang berbicara di meja makan. Ya, saat makan, orang dapat berbicara tentang apa pun. Namun, belum banyak orang yang benar-benar menyadari kekuatan diplomasi di meja makan.

Saya jadi ingat suatu ketika dikunjungi seorang Uskup di rumah kami di Jerman. Uskup itu bercerita banyak hal, termasuk tentang orang-orang kritis yang bertanya dan mengkritik segala hal tentang gereja.

Padahal sebenarnya pengkritik itu sendiri tahu dengan baik substansi persoalan yang sedang terjadi, tetapi karena kepentingan tertentu, maka orang itu bisa membawa isu-isu pribadi.

Sehari setelah pengkritik itu menulis di koran, bapak Uskup itu menelponnya secara langsung dan mengundangnya untuk minum kopi. 

Saat minum kopi berdua, mereka berbicara banyak hal dan tampaknya orang itu mengerti dan tidak menjadi garang seperti sebelumnya.

Dari meja kopi itulah terjadi hal ini: Dari musuh gagasan akhirnya berubah menjadi sahabat yang bisa berbicara saran dan pesan.

Keajaiban diplomasi di Meja Makan ala Jokowi tentu saja sudah menjadi nyata. Pertama saya melihat gambar tentang Ganjar, Anies, dan Prabowo duduk satu meja bersama Jokowi, terasa teduh dan nyaman.

Diplomasi di Meja Makan dan Bahasa Simbol Jokowi

Tentu saja diplomasi ala Jokowi itu punya simbol yang unik dan menarik untuk dikaji lebih dalam. Ada beberapa hal penting yang bisa diangkat ke permukaan:

1. Duduk satu meja dan pesan damai

Ingatan kolektif masyarakat Indonesia tentu saja bisa dihubungkan dengan Konferensi Meja Bundar yang terjadi di Den Haag, Belanda pada tanggal 11 Desember 1949 dan 29 Januari 1950.

Diplomasi di meja pada saat itu ternyata punya tujuan mulia yakni untuk mengakhiri konflik antara Belanda dan Republik Indonesia.

Dalam arti tertentu, Jokowi melakukan diplomasi di meja makan itu dengan tujuan agar konflik kepentingan antara masing-masing pendukung capres dan cawapres bisa mengendalikan diri dan menjaga kesatuan bangsa ini.

Logikanya akan menjadi seperti ini: Jika calon pemimpin bangsa kita bisa duduk satu meja dan makan bersama di meja yang sama, maka seharusnya kita, para pendukung mereka, juga bisa duduk satu meja dan berbicara tentang kemajuan Indonesia yang ditawarkan oleh capres masing-masing.

2. Duduk satu meja dan kedekatan emosional

Secara fisik, ketika melihat tiga capres kita duduk bersama Jokowi, kesan yang muncul adalah bahwa mereka begitu dekat, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional.

Mereka memiliki perbedaan program yang bisa diukur, tetapi tentu saja jarak hati mereka begitu dekat, karena ketiganya sedang mempertahankan kelanjutan bangsa ini dengan cara dan gaya yang berbeda.

Ketiganya adalah putera terbaik bangsa ini, dan ketiganya sebenarnya orang yang bisa bersama di satu meja untuk berbicara dan memikirkannya dengan matang apa yang penting bagi bangsa ini ke depannya.

Secara emosional, ketiganya pasti merasa terhubung satu sama lain dan tentu saja mereka bisa saling menghormati. 

Aspek saling menghormati itu tentu saja sangat penting agar dibaca oleh publik Indonesia, supaya kita, para pendukung mereka, juga melakukan hal yang sama.

3. Duduk satu meja ala para pemimpin dan ragam tafsir makna

Duduk satu meja itu memang sering kali dilakukan oleh siapa saja, namun duduk satu meja yang dilakukan oleh tokoh politik tentu saja punya pengaruh dan gema yang luas.

Oleh karena pengaruh dan gemanya yang luas, maka sangat dibutuhkan juga sudut pandang yang tepat. Mengapa? Gambar sebagai gambar hanya bisa dipahami jika ada orang yang menafsirkannya.

Gambar tanpa ada kata-kata itu selalu membutuhkan tafsiran. Dan tafsiran yang bisa muncul tentu saja bermacam-macam. Salah satu tafsiran yang saya angkat di sini adalah bahwa duduk satu meja ala pemimpin itu adalah ungkapan jiwa dari kepemimpinan mereka.

Kita bisa memiliki visi yang berbeda, tetapi kita juga bisa berbicara bersama sebagai saudara. Konsekuensi logisnya adalah orang tidak akan saling membully dan mencerca di media sosial.

Oleh karena itu, sebenarnya diplomasi di meja makan ala Jokowi memiliki pengaruh yang sangat besar untuk meredam tensi politik yang semakin panas.

Meja Makan dan Godaan Yudas

Dari latar kekristenan, tidak bisa disangkal bahwa refleksi tentang diplomasi di meja makan itu ternyata punya godaannya sendiri. Ibarat Yesus yang pernah makan perjamuan malam terakhir bersama dengan murid-murid-Nya, dan pada saat itulah Yudas bermain dengan gimmick yang licik untuk mengkhianati Yesus.

Yudas tentu saja setuju untuk mengkhianati Yesus kepada imam-imam kepala Yahudi dengan memberikan informasi tentang di mana Yesus dapat ditangkap.

Motifnya memang masih diperdebatkan, tetapi secara tertulis dikatakan bahwa Yudas pernah menerima 30 keping perak sebagai imbalan dari pengkhianatannya.

Bahkan ada juga penafsir yang mengatakan bahwa motifnya karena Yudas kecewa dan frustrasi karena dari waktu ke waktu otoritas Yesus semakin kuat untuk menekan kekuatan Romawi.

Dari sudut pandang seperti itu, diplomasi di meja makan ala Jokowi bisa saja menyisakan godaan Yudas. 

Jika ada yang melihat bahwa kekuasaan Jokowi saat ini semakin penting dan kuat, maka di antara ketiga capres itu bisa saja tergoda menjadi Yudas untuk mengalahkan kekuasaan Jokowi yang berniat baik mempersatukan bangsa ini.

Nah, sekali lagi ranah analisis selalu terbuka pada kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja benar dan bisa saja salah. Tentu saja kita berharap bahwa dari meja itu tidak menimbulkan godaan Yudas.

Salam berbagi, Ino, 1 November 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun