Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ada 3 Cara Sederhana Menepis Krisis Pangan

27 Oktober 2023   05:09 Diperbarui: 27 Oktober 2023   05:48 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ada tiga cara menepis krisis pangan | Dokumen pribadi oleh Ino

Diskusi dan polemik pasca peran Rusia-Ukraina terasa sekali merambat sampai kepada tema krisis global dan termasuk terkait dengan krisis pangan.

Tema krisis pangan menjadi sangat aktual karena kenyataan dunia saat ini yang berhadapan dengan dua kenyataan. 

Pada satu sisi, dunia berhadapan dengan krisis perang yang secara langsung telah menghancurkan semua produk pangan lokal pada negara-negara yang terkena secara langsung.

Tidak hanya itu, ternyata pada sisi yang lain, kenyataannya perubahan iklim dan pemanasan global sama sekali tidak bisa dihindari.

Dua kenyataan tersebut hampir merata di seluruh dunia. Dampak lanjutan dari dua krisis besar tersebut adalah terjadinya peningkatan inflasi yang telah membuat sebagian besar negara mengalami kegagalan ekonomi.

Oleh karena itu, saya sangat setuju bahwa kita perlu menjadikannya sebagai tema besar yang terus didiskusikan hingga munculnya kesadaran yang kuat.


Tulisan ini berusaha menyoroti bagaimana cara sederhana yang dilakukan oleh masyarakat Flores di beberapa tempat di tengah gejolak krisis ini, dan belum terlihat tanda-tanda berakhirnya.

Beberapa cara sederhana untuk mengatasi krisis pangan saat ini, antara lain:

1. Gerakan swasembada pangan

Saya masih ingat sekitar tahun 1988 kata 'swasembada pangan' pertama kali terdengar. Kata itu muncul ketika Indonesia sedang mengalami krisis atau setidaknya situasi perekonomian Flores yang sulit.

Saat itu, desa kami mulai mengadakan gerakan untuk menanam umbi-umbian, seperti singkong, ubi talas, ubi tatas, dan beberapa jenis umbi-umbian lainnya yang sampai saat ini saya belum tahu namanya dalam bahasa Indonesia.

Namun, dalam bahasa daerah, orang menyebutnya sebagai idu liu, sura, zowe, dan kewa. Jenis pangan lokal sangat beragam, dan bahkan beberapa di antaranya telah menjadi tumbuhan liar yang melimpah di hutan.

Jika kesadaran akan pentingnya swasembada pangan ini kembali dihidupkan, maka daerah-daerah penghasil pangan lokal seperti itu akan dapat memproduksi pangan lokal dengan lebih baik dan bukan hanya untuk konsumsi pribadi.

Oleh karena itu, saya menyebutnya sebagai gerakan swasembada pangan dengan tujuan untuk menghidupkan kembali kesadaran akan pentingnya ketersediaan pangan lokal dan jika memungkinkan, perlu dipromosikan hingga ke pasar tradisional di tingkat kabupaten dan kota.

2. Pola makan sehat manusia modern

Cara paling efektif untuk mengatasi krisis ini sebenarnya adalah dengan menghidupkan kembali kesadaran dan tata cara pola makan. 

Tanpa disadari, pola makan manusia modern semakin menjauh dari konsumsi pangan lokal, terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah perkotaan yang tidak memiliki pilihan selain makanan instan.

Meskipun demikian, proses globalisasi ini tidak hanya terjadi di kota, tetapi juga telah "masuk kampung," sehingga pola makan orang kota dan desa sebenarnya tidak berbeda.

Maka dari itu, pola makan perlu menjadi sebuah wacana tersendiri agar dapat menjadi kebiasaan baru yang sehat dan nyaman dari segi ekonomi. 

Saya membayangkan jika setiap kepala desa di daerah pedesaan memulai program pola makan dengan bahan pangan lokal, maka akan terjadi penghematan yang luar biasa.

Apalagi jika ada niat dan komitmen, misalnya dengan mengadakan hari di mana orang tidak harus makan nasi, tetapi mengonsumsi umbi-umbian dengan sayuran segar dari alam.

Dengan demikian, langkah untuk mengatasi krisis ini harus didukung oleh pemerintah melalui program-program untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.

3. Membangun Rumah Makan Tradisional

Bagi sebagian besar orang yang tinggal di kota besar, mereka pasti merindukan makanan lokal dengan racikan bumbu dan cara tradisional.

Sayangnya, seperti di Flores, belum ada rumah makan tradisional yang menyediakan alternatif makanan lokal. Mengapa hal ini terjadi?

Nah, ini berkaitan dengan konsep berpikir. Sebagian besar orang berpikir bahwa rumah makan harus menyajikan nasi, daging, dan sayuran dengan cara pengolahan masakan yang asing.

Logika aneh yang bisa keliru adalah jika masakan semakin asing dalam hal cara memasak, bumbu, dan penyajian, maka akan semakin laris.

Singkatnya, banyak orang tidak percaya diri dengan masakan tradisional atau kuliner lokal. Hal ini sebenarnya sangat disayangkan. Terlihat jelas bahwa konsep tentang kekhasan lokal kalah bersaing dengan konsep kemodernan.

Padahal, di Eropa, banyak orang sudah merasa jenuh dengan masakan modern, dan mereka sebenarnya mencari masakan khas dari berbagai negara dengan keaslian masing-masing.

Saya ingat beberapa bulan lalu, seorang teman India mengajak saya dan teman orang Korea untuk menikmati masakan khas Afrika di sebuah restoran Afrika di kota Mainz.

Di sana kami menemukan masakan yang benar-benar khas, mulai dari tempat penyimpanan makanan, minuman khas, dan cara penyajian yang unik.

Pada saat itu, saya merasakan ada sesuatu yang baru, dan semangat makan kami berubah, kami makan dengan gembira dan puas.

Saat itu, saya langsung berpikir, mengapa orang Flores sendiri tidak melakukan hal seperti ini? 

Padahal, di Flores masih ada kerajinan tangan yang dapat menggantikan piring dan gelas yang terbuat dari tempurung kelapa.

Tampaknya orang Afrika memiliki cara berpikir yang unik: semakin orisinal, semakin menarik.

Mungkin masyarakat Indonesia merasa malu untuk menampilkan keaslian karya mereka karena takut dianggap tidak kekinian dan kalah bersaing.

Pertanyaannya adalah: Bagaimana caranya agar rasa cinta pada yang orisinal kembali tumbuh? Tentu saja hal ini berkaitan dengan sumber daya manusia yang memadai.

Sumber daya manusia dan pola pikir yang menggabungkan konsep orisinalitas dan kebersihan di satu sisi, serta konsep ketahanan lokal dan keunikan sesuai budaya kita sendiri di sisi lainnya, perlu menjadi kesadaran bersama.

Salam berbagi, Ino, 27 Oktober 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun