Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Polemik Usia dan Politik Dinasti: Perdebatan Seputar Capres-Cawapres 2024

13 Oktober 2023   04:15 Diperbarui: 13 Oktober 2023   04:41 481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memperhitungkan faktor usia boleh saja, tapi jangan mengabaikan kebijaksanaan dan amanah | Ino Sigaze

Fokus perhatian masyarakat Indonesia saat ini tentu saja terarah kepada capres dan cawapres. Mereka adalah figur politik yang sering menjadi sorotan publik.

Sorotan analisis terkait capres-cawapres tentu berkaitan dengan banyak aspek, tidak hanya soal gender sebagaimana pernah diperdebatkan baru-baru ini, tetapi juga masalah batasan usia mereka.

Tulisan ini coba menyoroti analisis dan pertimbangan yang perlu agar perhatian Bawaslu tidak hanya karena tensi politik yang tendensius, baik itu untuk mendukung pasangan tertentu, maupun untuk menghalangi pasangan lainnya.

Ada 4 dasar pertimbangan yang bisa dipikirkan oleh Mahkamah Konstitusi kita sebelum palu keputusan akhir mereka dijatuhkan:

1. Hukum dan Peraturan jangan Diciptakan pada saat Tekanan Kepentingan yang tidak tercapai.

Atmosfer politik tanah air menjelang pemilu 2024 ini tentu saja akan berubah-ubah. Mulai dari kehadiran tokoh-tokoh muda yang berbakat dan berpotensi besar masuk istana, hingga pasangan-pasangan yang terlihat memiliki massa pendukungnya besar.

Polemik terkait pasangan Prabowo-Gibran bisa saja menjadi masalah di tengah jalan karena faktor usia. Pertanyaannya apakah faktor usia bisa menjadi penghalangan untuk sebuah suksesi?

Tentu saja ada beragam jawaban. Usia terlalu muda tentu saja membuat orang ragu dengan kebijaksanaan yang dimilikinya, apalagi jika seorang pemimpin dibayangkan sebagai figur yang tenang, sabar, dan berwibawa dengan pancaran kebijaksanaan.

Demikian juga usia terlalu tua tentu saja tidak enak dan menarik karena terasa seperti pajangan semata. Terasa tidak kreatif dan inovatif, bicara tentang hal yang sama-sama saja, tidak progresif.

Nah, jika seperti itu, apa solusi jalan tengah yang perlu ditempuh saat ini? Penentuan batas usia sebaiknya jangan dilakukan dengan motif yang jelas untuk mencegah pasangan tertentu dengan potensi dukungan besar.

Banyak nabi yang mengatakan "aku masih muda," tetapi kepemimpinan itu bukan semata-mata panggilan manusiawi tetapi juga amanah dari Tuhan.

Tuhan memberikan amanah tentu saja pada orang yang tepat dan bukan karena faktor usianya. 

Negeri ini akan ricuh dan riuh jika ada pasangan yang harus disingkirkan dari panggung suksesi hanya karena usia masih terlalu muda dan sudah terlalu tua.

2. Usia "masih terlalu muda" dan "sudah terlalu tua" itu relatif dan tidak sebanding dengan Kebijaksanaan dan Amanah dari Tuhan.

Faktor kematangan, sebagaimana yang disoroti oleh Bivitri Susanti yang berfungsi untuk mengelola intelligensi dalam pengambilan kebijakan, tentu saja alasan lain yang patut dipertimbangkan.

Kita punya masa lalu dengan kehadiran figur-figur politik yang tua dan bisa saja dalam kriteria saat ini tidak bisa lolos seleksi, namun karena kekuatan pendukungnya yang banyak, maka tidak seorangpun pada saat itu bicara.

Sebaliknya, jika kita terlalu meragukan orang muda, maka kapan harapan bangsa ini akan tercapai. Dalam banyak kesempatan kita telah bicara bahwa generasi muda, pemimpin milenial pada merekalah andalan bangsa kita.

Nah, ketika orang-orang muda kita mulai tampil ke publik, kita saat ini mulai bicara tentang batasan usia. Fenomena ini bisa saja dilihat sebaliknya. Ya, sebenarnya kematangan manusia dalam pengambil kebijakan yang mestinya perlu dikritisi.

Maksud saya bahwa kita tidak bisa membuat peraturan perundangan yang baru hanya untuk mencegah implementasi kaum milenial ke dalam politik.

Di sinilah ditemukan sebuah dilema baru di tanah air ini ternyata generasi muda harapan bangsa itu hanya sebatas polemik dan ilusi saja dan tidak akan merebut kepercayaan dari generasi yang lebih tua.

Sampai kapan negeri ini akan dengan cepat menjadi baru dan maju kalau kita menolak generasi muda yang hadir dengan jiwa dan roh kekinian mereka?

3. Bayangan Ketakutan pada Politik Dinasti

Sudah menjadi rahasia umum bahwa dua putra Jokowi telah resmi masuk ke dalam panggung politik. Gibran telah bergabung ke dalam PDI Perjuangan dan Kaesang baru saja menjadi Ketua Umum PSI.

Komitmen politik dua putra presiden ini memang pantas dikritisi. Apakah benar motif politik mereka untuk kesejahteraan bangsa ini ataukah ada hal-hal lain, seperti mengambil alih tongkat kepemimpinan sang ayah.

Bukan tidak mungkin bahwa mata masyarakat terarah ke sana dan ada satu ketakutan yang muncul ke permukaan saat ini, yakni soal ketakutan pada politik dinasti.

Bisa saja polemik soal batasan usia capres dan cawapres adalah akumulasi dari ketakutan pada politik dinasti. Dalam konteks ini, sebenarnya kita perlu lebih jernih dalam menilai:

Pertama, putra Jokowi menjadi pejabat publik tidak dengan otomatis diangkat oleh sang ayah, tetapi jelas-jelas melalui proses demokrasi, berdasarkan suara rakyat (Vox populi).

Kedua, negeri ini tidak memiliki peraturan perundang-undangan yang melarang anak Presiden terlibat dalam politik praktis.

Dalam hal ini, anak Presiden juga memiliki kebebasan yang sama seperti anak-anak lainnya di negeri ini untuk masuk ke dalam ruang politik.

Saya lebih setuju jika niat baik orang-orang muda untuk masuk ke dalam kancah politik ini tidak dihalangi dengan sejumlah aturan yang dibuat-buat dengan motif hanya untuk mencekal pasangan tertentu.

Ketiga, negeri ini telah mengenal cerita tentang rekam jejak. Rekam jejak yang baik itu sama seperti sebuah janji politik yang bisa saja mendatangkan kepercayaan dari masyarakat.

Mengapa kita takut jika saja ada tokoh-tokoh muda yang punya rekam jejak yang baik semakin berkembang?

4. Ego Kepemimpinan dan Pemahaman Budaya yang Dangkal

Polemik tentang batasan usia capres dan cawapres akan semakin menampilkan ego kepemimpinan dan pemahaman budaya yang dangkal.

Saya masih ingat bagaimana orang Jerman dalam banyak universitas mereka memiliki rektor yang sangat muda usianya. Bayangkan seorang rektor universitas yang berusia 39 tahun.

Tapi jangan salah, ia seorang profesor dengan banyak sekali gelar lainnya. Ia berjiwa muda, tetapi juga tegas dalam prinsipnya sebagai rektor universitas. 

Menariknya, di sana dia disegani karena kebijaksanaan dan progresivitasnya dalam membangun dialog dengan agama-agama lain.

Saya juga mengaguminya karena ada langkah berani yang pernah muncul dari masa kepemimpinannya, ia pernah mengumpulkan 25 profesor hukum Gereja se-Jerman untuk mengkaji kembali pasal-pasal hukum kanonik yang dianggap tidak relevan lagi dengan zaman dan manusianya.

Bagi saya, keberanian dan progresivitas orang muda seperti itulah yang dibutuhkan, bukan sekedar rambut putih beruban yang dianggap bijaksana, tapi ternyata diam seribu bahasa.

Kelemahan kita adalah budaya santun. Kita menaruh hormat lebih kepada orang yang lebih tua tanpa mempertimbangkan kebijaksanaannya yang dimilikinya.

Salam berbagi, Ino, 13 Oktober 2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun