Komitmen politik dua putra presiden ini memang pantas dikritisi. Apakah benar motif politik mereka untuk kesejahteraan bangsa ini ataukah ada hal-hal lain, seperti mengambil alih tongkat kepemimpinan sang ayah.
Bukan tidak mungkin bahwa mata masyarakat terarah ke sana dan ada satu ketakutan yang muncul ke permukaan saat ini, yakni soal ketakutan pada politik dinasti.
Bisa saja polemik soal batasan usia capres dan cawapres adalah akumulasi dari ketakutan pada politik dinasti. Dalam konteks ini, sebenarnya kita perlu lebih jernih dalam menilai:
Pertama, putra Jokowi menjadi pejabat publik tidak dengan otomatis diangkat oleh sang ayah, tetapi jelas-jelas melalui proses demokrasi, berdasarkan suara rakyat (Vox populi).
Kedua, negeri ini tidak memiliki peraturan perundang-undangan yang melarang anak Presiden terlibat dalam politik praktis.
Dalam hal ini, anak Presiden juga memiliki kebebasan yang sama seperti anak-anak lainnya di negeri ini untuk masuk ke dalam ruang politik.
Saya lebih setuju jika niat baik orang-orang muda untuk masuk ke dalam kancah politik ini tidak dihalangi dengan sejumlah aturan yang dibuat-buat dengan motif hanya untuk mencekal pasangan tertentu.
Ketiga, negeri ini telah mengenal cerita tentang rekam jejak. Rekam jejak yang baik itu sama seperti sebuah janji politik yang bisa saja mendatangkan kepercayaan dari masyarakat.
Mengapa kita takut jika saja ada tokoh-tokoh muda yang punya rekam jejak yang baik semakin berkembang?
4. Ego Kepemimpinan dan Pemahaman Budaya yang Dangkal
Polemik tentang batasan usia capres dan cawapres akan semakin menampilkan ego kepemimpinan dan pemahaman budaya yang dangkal.
Saya masih ingat bagaimana orang Jerman dalam banyak universitas mereka memiliki rektor yang sangat muda usianya. Bayangkan seorang rektor universitas yang berusia 39 tahun.