Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Spiritualitas Cinta: Solusi Mencegah Kriminalitas Siswa Sejak dalam Rahim

30 September 2023   06:34 Diperbarui: 30 September 2023   14:33 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesadaran akan pentingnya spiritualitas cinta dalam konteks pendidikan sama mendesaknya ketika kita mencari solusi untuk mencegah kriminalitas siswa | Ino Sigaze.

Sorotan topik kriminalitas siswa layak dibahas saat ini. Kriminalitas siswa bukan lagi sebuah wacana.

Kita tidak membahas topik kriminalitas siswa hanya karena adanya satu kasus yang terungkap, tetapi juga karena siswa, di tengah arus perkembangan zaman ini, telah terdampak oleh banyak hal, mulai dari rumah hingga lingkungan pergaulan mereka.

Ada banyak faktor yang memengaruhi siswa hingga mencapai tingkat kriminalitas. Minimnya pendidikan moral dan dominasi lingkungan yang rusak selalu menjadi fokus perhatian.

Meskipun begitu, fokus tulisan saya kali ini lebih terarah kepada spiritualitas cinta sebagai unsur penting dalam kehidupan, mulai dari rumah hingga sekolah.

Pertanyaan penting yang perlu diketahui adalah: Apa itu spiritualitas dan mengapa spiritualitas cinta penting dalam menghadapi gejolak kriminalitas siswa?


Apa itu spiritualitas?

Spiritualitas didefinisikan sebagai sumber motivasi dan emosi yang berkaitan dengan hubungan seseorang dengan Tuhan (KBBI).

Sementara itu, dalam Wikipedia bahasa Jerman, spiritualitas diuraikan sebagai kesadaran manusia yang berada pada tingkat spiritual yang lebih tinggi dan memampukan manusia untuk berusaha memahami rencana ilahi.

Dalam arti yang lebih sederhana, spiritualitas dipahami sebagai sebuah cara hidup yang bisa dihayati manusia, tetapi berakar pada aspek-aspek yang bersifat spiritual.

Spiritualitas Merupakan Kata yang Masih Asing dalam Konteks Pendidikan.

Dari penjelasan mengenai apa itu spiritualitas, jelas terlihat bahwa kata ini memiliki makna yang penting. Namun, pada kenyataannya, kata ini jarang dibicarakan, tidak hanya di rumah, tetapi juga di sekolah, bahkan dalam masyarakat umum dan universitas.

Pendidikan tidak hanya memerlukan kontinuitas yang terus diperbarui dengan dimensi kebaruan, tetapi juga memerlukan pemahaman dan penghidupan kata-kata baru.

Kata-kata seperti spiritualitas masih terdengar asing bagi orangtua dan guru, juga bagi siswa-siswi.

Kita tidak boleh melupakan bahwa pendidikan juga tentang cara hidup. Kita mendidik siswa tidak hanya agar mereka memahami teorinya, tetapi juga agar mereka menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Siswa yang berilmu, taat, sopan, ramah, tahu menghormati guru, orangtua, dan sesama mereka, serta tekun beribadah, adalah nilai-nilai penting yang tidak hanya berhenti pada pemahaman teoritis, tetapi juga harus tercermin dalam kehidupan siswa itu sendiri.

Keseimbangan Teori dan Praktik

Pendidikan kita selama ini lebih menekankan teori daripada praktik. Seringkali, teori hanya diajarkan selama satu semester, sementara praktiknya hanya sehari. 

Bahkan di tingkat universitas, teori diajarkan selama empat tahun, tetapi praktiknya hanya selama satu tahun.

Saya rasa belum ada yang benar-benar memahami sejauh mana pentingnya praktik.

Padahal, praktik tidak hanya tentang mendapatkan nilai yang baik, tetapi juga tentang menginternalisasi menjadi bagian dari cara hidup atau spiritualitas.

Ketidakseimbangan ini telah berlangsung begitu lama hingga saat ini. Tidak heran jika siswa lulus pendidikan tanpa membawa perubahan pada cara hidup mereka.

Saya yakin hanya siswa yang benar-benar memahami dan menerapkan pesan dengan baik yang dapat menyebarkan pesan dan pelajaran ini di sekolah kepada orang lain.

Saya teringat ucapan Yesus yang sering salah dipahami: "Barangsiapa memiliki, maka akan diberikan kepadanya; tetapi barangsiapa tidak memiliki, maka apa yang dimilikinya akan diambil. Lukas 8:18"

Pesan yang dapat diambil dari teks ini adalah Yesus berbicara tentang iman dan pengetahuan. Ada hukum pertumbuhan dan kegagalan yang tidak bisa dihindari.

Pada dasarnya, siapa yang memiliki pengetahuan, ia akan tumbuh dalam pengetahuannya, asalkan ia mendengarkannya dengan hati yang baik dan ikhlas serta menjadikan apa yang didengarnya sebagai miliknya.

Saya berpikir bahwa perjuangan untuk menjadikan apa yang dipelajari di sekolah sebagai milik pribadi adalah hal yang selama ini belum efektif dalam mengubah cara hidup siswa.

Oleh karena itu, sekolah perlu memasukkan pelajaran tentang spiritualitas.

Spiritualitas dapat menjadi penghubung yang baik antara teori ilmu pengetahuan di sekolah dengan dimensi iman.

Ilmu pengetahuan dapat diperoleh oleh siapa saja tanpa ada tanggung jawab yang kuat untuk mengamalkannya, tetapi jika ilmu tersebut dikaitkan dengan dimensi iman, maka akan ada tanggung jawab yang lebih kuat karena itu sudah menjadi pesan ilahi dari Tuhan.

Siapa saudaraku? Saudaraku adalah dia yang mendengarkan firman Tuhan dan melaksanakannya.

Mungkinkah Spiritualitas Cinta Diajarkan di Sekolah?

Sekolah mestinya menjadi tempat di mana siswa tidak hanya belajar teori, konsep, dan gagasan, tetapi juga belajar untuk memiliki cara hidup yang baik.

Cara hidup yang baik adalah cara hidup yang ditanamkan dalam kerangka spiritualitas. Cara hidup yang baik tidak hanya berhenti pada teori tentang pentingnya mencintai dan mengampuni orang lain, tetapi juga mencakup pemahaman bahwa Sang Pengajar Sejati telah mencintai manusia.

Spiritualitas cinta bersumber dari Allah yang adalah sumber kasih. Ada ungkapan Latin, 'Deus caritas est -- Allah adalah kasih.'

Spiritualitas cinta perlu diajarkan bukan hanya untuk mengetahui, tetapi juga untuk menjadikan sekolah itu sendiri sebagai sekolah cinta.

Dari sekolah cinta ini, orangtua dapat berharap agar anak-anak mereka mengenal cinta, memiliki cinta kasih, dan mengamalkannya.

Sekolah cinta dapat ada di mana saja.

Konsep sekolah cinta sebenarnya pernah diungkapkan oleh seorang biarawati dari kota Lisieux, Perancis, yaitu Santa Theresia dari Lisieux.

Bagi Theresia, rumah adalah salah satu sekolah cinta. Di sana, dia belajar untuk mengenal dan mencintai sesama, termasuk orang yang menyakitinya.

Dalam kerangka berpikir seperti itu, kita tidak harus membebani orangtua atau guru sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab dalam mendidik anak.

Tanggung Jawab Pengajaran Spiritualitas Cinta

Umumnya orang berpikir bahwa tanggung jawab untuk mengajarkan cinta adalah tanggung jawab semua orang.

Dan rumah dapat menjadi tempat pertama sebagai sekolah cinta. Dalam pandangan saya, rahim ibu adalah rahim cinta dan pengampunan.

Oleh karena itu, pendidikan pertama sebenarnya dimulai di dalam rahim ibu selama sembilan bulan.

Refleksi dan kritik harus ditujukan juga kepada kaum ibu, sejauh mana mereka menyadari bahwa pendidikan atau sekolah cinta dimulai sejak dalam kandungan?

Tentu saja, sang bapak juga memiliki peran besar dalam menciptakan sekolah cinta dalam rahim ibu.

Cara komunikasi antara ibu dan bapak adalah pelajaran komunikasi bagi sang bayi. Rencana, pikiran, dan perilaku ibu dalam hubungannya dengan bapak juga merupakan pelajaran dasar bagi sang bayi.

Semua yang terjadi selama sembilan bulan itu merupakan bagian dari sekolah pertamanya.

Menyiapkan anak pada fase pertama sembilan bulan mungkin adalah hal yang paling sulit karena itu adalah dasarnya. Dengan dasar yang kuat dalam cinta dan pengampunan, anak akan tumbuh dengan kekayaan ilmu dan pengalaman cinta.

Oleh karena itu, spiritualitas cinta harus disadari dan ditanamkan sejak dalam rahim. Rahim adalah fase pendidikan yang paling dalam, baru setelahnya di rumah, di sekolah, dan dalam lingkungan sekitarnya.

Apakah manusia zaman ini mampu menerima revolusi pemikiran bahwa pendidikan pertama dimulai di dalam rahim ibu? Kriminalitas siswa dapat berakar pada cara hidup yang diterima oleh anak pada masa lalu, mulai dari rumah mereka.

Diperlukan penelitian ilmiah lebih lanjut mengenai hal ini. Saya percaya bahwa dasar dari spiritualitas cinta yang dapat mengatasi kriminalitas adalah rahim ibu.

Semakin maju dunia ini, kita tidak boleh melupakan akar spiritualitas yang bersumber dari rahim sang ibu. Dari rahim itulah kita mengenal Allah yang penuh kasih.

Jika Allah adalah kasih, maka tidak mungkin ada kriminalitas. Rahim hanya berisi cinta yang menghasilkan kebaikan, kebahagiaan, kedamaian, penerimaan, dan pengampunan.

Tidak heran, dalam praktek reliius tertentu yang memiliki program seperti sebelum menikah, pasangan mengikuti paket kursus pernikahan yang juga memasukkan pelajaran tentang spiritualitas cinta sebagai prioritas di sekolah kerahiman.

Ini merupakan tantangan dan kritik untuk mengubah pandangan tentang siapa yang bertanggung jawab ketika kriminalitas siswa semakin meningkat.

Salam berbagi, Ino 30 September 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun