Perspektif yang diprediksi menjadi sebab-musabab tutupnya toko buku tidak hanya perlu mendapat perhatian masyarakat Indonesia, tetapi juga perlu menjadi bahan kajian pemerintah dan institusi-institusi religius yang berperan dalam mempertahankan dan menyebarkan spiritualitas kehidupan di zaman ini. | Ino Sigaze.
Tebaran berita tentang berakhirnya riwayat toko buku sedang marak, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di Eropa.Â
Fenomena tutupnya toko buku itu menggoda nalar untuk mencoba mengkaji sebab dan alasan mengapa toko buku harus tutup, padahal toko buku sangat penting bagi para pembaca.
Perubahan zaman tentu saja berhubungan langsung dengan pertanyaan-pertanyaan kritis lainnya. Nah, dalam hal ini pertanyaannya adalah mengapa sekian banyak toko buku akhirnya tutup saat ini?
Tulisan ini mencoba menyoroti beberapa perspektif yang diprediksi menjadi sebab-musababnya.
1. Pesan Sekularisasi lebih menarik dari religiositasÂ
Tesis ini saya temukan ketika mengunjungi toko buku gereja Katedral Mainz yang berada persis di samping gereja Katedral itu sendiri. Padahal dari segi tata letaknya sebenarnya sangat strategis, yakni di jantung kota.
Toko buku Dom atau Dom Buchhandlung itu berada bersebelahan dengan tempat pasar akhir pekan yang dimulai sejak Jumat sampai dengan Sabtu sore.
Jika dari segi tata letak saja sudah tidak bisa menjadi daya tarik, maka sebenarnya apa sih sebab dari tutupnya toko buku itu sendiri?
Beberapa kali saya mencoba mengintip dari dekat, apa isi toko buku itu. Di sana saya menemukan sekitar 80% buku dengan rubrik religi, sedangkan 20% lainnya adalah buku sejarah, filsafat, biografi, dan bahasa.