3. Perjumpaan dengan yang lain itu bisa menjadi momen kritik diri sendiri
Hati dan pikiran semakin terpana pada keheningan ruangan tua. Apalagi melihat ada begitu banyak orang-orang muda dengan sosok wajah ingin tahu (neugierig) ala ilmuwan ternama, duduk sambil mengkerut wajah membaca dalam hening sambil goyang-goyang kepala.
Saya coba bergeser ke posisi lain cuma ingin mengubah sudut pandang tentang ruang tua. Dalam hati kecil sebenarnya sedang bertanya, masih mungkinkah ada sesi perjumpaan yang mengejutkan di dalam ruang tua itu?
Pada sisi sebelah kanan dari pintu masuk, tepatnya di rak yang kedua, terlihat buku berwarna putih cerah dengan tulisan: Carey & Hoadley: The Archive of Yogyakarta, Volume II.Â
Saya mengambil buku itu dan membacanya. Oh ternyata di dalamnya berisikan tulisan bahasa Jawa. Saya tidak bisa mengerti apapun tentang isinya.Â
Hanya ada satu yang saya percaya bahwa nama Yogyakarta bisa tertulis di perpustakaan Tübingen. Itu sudah cukup bagi saya. Ketika Yogyakarta disebut, tentu saja nama Indonesia ada di sana dan saya tahu bahwa di perpustakaan tua itu ada buku tentang Indonesia.
Pertanyaannya, apakah buku itu dianggap penting di Indonesia? Apakah arsip sejarah tentang Yogyakarta diminati di Indonesia?
4. Perjumpaan dengan anggota rumah Kompasiana, berdebar tentang perempuan Kompasiana
Sesi perjumpaan yang paling berkesan itu tentu saja ketika bertemu penulis hebat senior saya Hennie Triana. Jantungku sungguh berdebar saat pertama melihat mbak Hennie.
Antara rasa kagum dan heran bisa bertemu Kompasiana hebat seperti Hennie Triana dan Theresia Assenheimer di sana. Momen perjumpaan itu tidak mungkin dilupakan.
Di dataran kecil di atas bukit dengan view yang begitu indah dan luas terbentang hamparan bunga-bunga kuning raps, ratusan tulisan berkualitas dibagikan dari sana.