Saya tidak perlu membuka dan membaca buku ilmu tafsir, tetapi Ibu yang sederhana itu telah mengajarkan saya untuk memahami makna yang luar biasa penting dari ucapan khas pada hari Idul Fitri.
Sayang sekali, saya cuma sebentar bercerita dengan ibu itu. Bahkan konyolnya lagi, saya tidak mengenal nama keduanya. Tapi, saya tidak menyesal, karena kedua ibu yang saya jumpai pada hari Idul Fitri itu bagi saya adalah Suci dan Fitri.
Dari mereka berdua itulah saya mengenal dan memahami apa arti dari suci dan fitri dalam kehidupan sehari-hari. Suci dan Fitri yang saya pahami dari muncul ketika mereka memancarkan keramahan dalam perjalanan, kesantunan dalam tutur kata dan tindakan, keanggunan menyebut nama, keterbukaan berbagi cerita yang penuh makna, kemauan untuk berbagi inspirasi.
Suci dan fitri bagi saya ibarat berada dalam keadaan kehampaan ambisi dan kesombongan. Tidak heran kalau ibu itu mengatakan kita di titik nol.
Titik hampa. Seakan ibu itu mau mengatakan, "sekarang kita tidak punya dendam di dalam hati; sekarang kita tidak punya luka yang menyayat hati; kita tidak punya amarah yang mengobarkan kebencian saat ini."
Pada titik nol itulah, kita sebenarnya cuma bisa silaturahmi dari hati pada semua dan pada siapa saja. Kutitipkan rindu untuk Suci dan Fitri, kapan kita bertemu lagi?
Salam berbagi, ino, 25.04.2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H