Rangkaian perayaan dalam Minggu Suci belum berakhir. Perjalanan spiritual Yesus bukan hanya berhenti dengan disambut di Jerusalem, dan makan malam bersama para murid-Nya, tetapi juga Ia akan disalibkan.Â
Hari ini umat Kristiani memasuki hari Jumat Agung di tahun 2023. Jumat Agung, juga disebut sebagai Hari sengsara Kristus". Hari Jumat Agung ini dirayakan secara berbeda di gereja-gereja.
Gereja Evangelis misalnya, merayakan Jumat Agung sebagai hari istimewa yang dirayakan secara khusus.
Oleh karena itu pada hari Jumat dalam pekan suci itu, gereja-gereja Evangelis Lutheran merayakan juga Abendmahl atau perjamuan makan bersama dengan seluruh jemaat yang hadir.
Jumat Agung dalam Tradisi Gereja Katolik
Sementara itu, Jumat Agung adalah salah satu hari raya terpenting dalam tradisi Katolik.Â
Pada hari Jumat Agung, orang Kristen memperingati penderitaan dan kematian Yesus di kayu salib.Â
Hari itu ditandai dengan kesedihan dan refleksi saat orang percaya merenungkan pentingnya pengorbanan Yesus dalam penebusan dosa umat manusia.
Dalam Gereja Katolik, sering diadakan upacara-upacara khusus pada hari ini, seperti berdoa Jalan Salib, membacakan kisah sengsara Yesus dan menghormati salib.Â
Banyak orang percaya juga mempraktikkan puasa dan pantang pada hari ini.
Jumat Agung adalah hari raya sunyi di mana Gereja Katolik menyerukan keheningan dan kontemplasi dan untuk memperingati pengorbanan besar Yesus Kristus.
Arti Salib
Salib yang dihormati pada hari Jumat Agung memiliki makna simbolis yang dalam bagi umat Kristiani. Momen Jumat Agung itu tidak lain untuk memperingati penderitaan dan kematian pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib, yang, menurut ajaran Kristen, menanggung dosa orang-orang ke atas diri-Nya sendiri.Â
Untuk alasan ini, salib dianggap sebagai simbol utama Kekristenan dan mewakili harapan dan keselamatan yang Yesus berikan kepada orang percaya melalui kematian dan kebangkitan-Nya.Â
Oleh karena itu, penghormatan salib pada Jumat Agung merupakan bagian penting dari praktik iman bagi banyak orang Kristen.
Beberapa orang percaya bahwa sengsara Kristus - yaitu, penderitaan, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus - memiliki relevansi yang besar dengan kehidupan praktis mereka.
Banyak orang Kristen percaya bahwa Sengsara Kristus memberi mereka harapan, penghiburan, pengampunan, keselamatan, dan teladan hidup saleh.Â
Namun, orang lain mungkin menafsirkan makna peristiwa ini secara berbeda atau mungkin tidak membagikannya sama sekali. Pada akhirnya, makna Sengsara Kristus bergantung pada keyakinan dan pengalaman individu.
Teks yang berbicara tentang penderitaan Yesus
Penggambaran penderitaan Yesus Kristus terdapat dalam keempat injil Perjanjian Baru, yaitu Matius 26-27, Markus 14-15, Lukas 22-23 dan Yohanes 18-19.Â
Kisah-kisah ini menggambarkan bagaimana Yesus ditangkap, diinterogasi, diejek, disiksa, dan akhirnya disalibkan setelah sakramen.Â
Sengsara Yesus Kristus dengan demikian merupakan peristiwa sentral dalam iman Kristen dan dipertimbangkan dan direfleksikan setiap tahun selama Pekan Suci di gereja-gereja di seluruh dunia.
Salib dari sudut Filsafat
Di Eropa yang mengenakan salib tidak harus orang Kristen. Salib dilihat sebagai karya seni.Â
Bahkan ada yang melihat salib sebagai objek keindahan, objek sejarah seni dan sejarah budaya. (Bdk. Prof. dr Holger Zaborowski (Professor Filsafat di Fakultas Teologi Katolik di Erfurt-domradio.de).
Namun pada sisi yang lain itu menjadi simbol dari kenangan pahit penyiksaan, penderitaan bahkan kematian Yesus.
Pertanyaan yang menantang dari seorang Filsuf Jerman di atas adalah apa sebenarnya arti keindahan dalam konteks salib Kristus? Bisakah seseorang benar-benar berbicara tentang keindahan salib?Â
Atau apakah itu hanya mungkin jika orang mengabaikan makna religius yang sebenarnya, termasuk pertimbangan sejarah, sedemikian rupa sehingga orang hanya menganggap salib sebagai objek museum?
Bagi sebagian yang tidak memiliki pandangan religius, maka salib tidak lain adalah objek seni dan produk budaya seni.Â
Coba perhatikan ada banyak sekali orang yang membuat tato pada lengan, dada, di punggung dengan bentuk salib, padahal dia bukan seorang Kristen.
Dari sudut pandang Edith Stein
Edith Stein adalah seorang filsuf dan biarawati Karmel di Jerman yang hidup di abad ke-20 dan merupakan seorang Yahudi yang menjadi Katolik. Â Dia banyak menulis tentang hubungan antara iman dan akal.
Sehubungan dengan salib, Edith Stein menekankan pentingnya penganugerahan dan penderitaan.Â
Dia melihat salib sebagai simbol bahwa hidup bukan hanya tentang mengejar kesenangan dan kesuksesan, tetapi juga ada penderitaan dan pengorbanan.Â
Edith Stein juga menekankan pentingnya salib sebagai simbol kasih Tuhan. Â Edith melihat salib sebagai ekspresi kesediaan Tuhan untuk menderita dan mengorbankan diri-Nya untuk keselamatan umat manusia.
Edith Stein sendiri adalah pendukung iman Kristen yang bersemangat dan melihat salib sebagai simbol utama dari keyakinan agamanya.Â
Edit Stein sendiri punya motto: Ave crux, spes unica atau "Salam salib, harapan satu-satunya".
Namun, dia juga menekankan bahwa pemahaman tentang salib tidak boleh terbatas pada iman Kristiani saja.Â
Dia melihat salib sebagai simbol pengalaman penderitaan manusia dan kebutuhan untuk mengorbankan diri untuk membantu orang lain.
Perayaan Jumat Agung di Gereja Karmel di Jerman
Gereja para Karmelit di kota Mainz terletak di tengah-tengah kota Mainz.
Oleh karena itu, gereja ini sangat banyak dikunjungi oleh umat Katolik. Daya tarik lain tentu saja bukan cuma letaknya yang sangat strategis di tengah kota, tetapi juga soal kreativitas yang dilakukan di sana.
Hal unik dan menarik biasanya dilakukan pada hari Jumat Agung atau Karfreitag.
Karfreitag, Budaya dan Kreativitas
Budaya dan cara berpikir Jerman yang kreatif menjadikan mereka tidak kaku dengan hanya memelihara tradisi, tetapi juga coba menemukan cara-cara kreatif yang menarik sesuai dengan kerinduan umat.
Cara baru yang kreatif sesuai dengan selera budaya mereka sendiri.
Di sana tidak ada ritual cium salib, tetapi setiap orang boleh membawa lilin dan meletakan lilin pada salib yang sudah ditempatkan di wilayah Altar gereja.
Bahkan ada juga yang membawa bentuk bibit umbi-umbian yang kecil sebagai lambang harapan akan hidup baru.
Selanjutnya ada lagi kreativitas baru yang sangat menarik yakni mendatangkan seorang yang membunyikan gong bersamaan dengan pembacaan kisah sengsara Yesus.
Momen itu sangat menakjubkan karena pemain musik gong itu bisa membunyikan gong dengan suara yang berbeda-beda sesuai ritme cerita yang dibacakan pada saat itu.
Satu hal yang mengharukan yakni semua gong yang dipakai itu berasal dari Indonesia. Karya seni budaya anak bangsa ternyata bisa dibawa masuk ke dalam liturgi gereja.Â
Seni, budaya dan kreativitas jika bisa dipadukan dengan baik, maka akan memberikan pesan yang mengarahkan hati manusia kepada realitas yang lebih tinggi.
Lonceng kematian Yesus tidak pernah sia-sia, tetapi membawa kehidupan dan keselamatan manusia.Â
Salam berbagi, ino, 7.04.2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H