Sudah saatnya kita kreatif mengubah barang bekas menjadi amal yang berguna bagi banyak orang yang membutuhkan | Ino Sigaze.
Di tengah maraknya isu dan polemik pelarangan thrifting di Indonesia, saya tertarik juga untuk menyoroti persoalan thrifting di Jerman.
Thrifting di Jerman memang lebih unik. Kalau orang berkunjung ke kota Mainz, maka jangan lewatkan kesempatan untuk mampir di Oxfam Shop di ujung dari Augustina Strasse.Â
Berikut reportase singkat tentang gudang thrifting dalam desain Oxfam shop di kota Mainz.
Reportase tentang Oxfam di Mainz, Jerman
Oxfam Shop Mainz itu sudah lama menginspirasi saya. Tahun 2015 saya secara kebetulan mampir di sana. Terlihat banyak orang keluar masuk membawa satu dua plastik pakaian.
Pelayan tokonya begitu ramah. Kita bisa mengajak bicara dengan santai. Bisa pula mendekati kita untuk bertanya. Di dalam toko itu saya temukan berbagai jenis pakaian laki-laki dan perempuan.
Ada satu cermin besar. Ada barisan untuk pakaian perempuan dan laki-laki secara terpisah. Ada Jaket dan Jas, dasi pria dan wanita yang bagus-bagus layaknya barang baru di toko elit sebelahnya.
Tata ruangannya sangat menarik, ada barisan lemari kaca. Di dalam terlihat perhiasan mulai dari besi putih, perak dan emas. Perhiasan juga terlihat bermacam-macam bentuknya.
Di mata saya semuanya terlihat baru dan sangat menarik. Ada juga koleksi jam tangan, koleksi foto dan lukisan tangan.Â
Tidak hanya itu ternyata ada juga banyak sekali buku-buku, kamus, novel dan jenis seri buku bahasa, teologi, filsafat, fiksi dan lain sebagainya.
Jenis sepatu yang bagus-bagus, baik jenis sepatu olahraga dan untuk urusan pesta semuanya ada di sana. Bahkan semuanya ditemukan dalam berbagai ukuran.
Beberapa Prinsip Oxfam shop
Oxfam shop punya prinsip sendiri yang mungkin belum ada di Indonesia.Â
1. Menerima pakaian bekas secara gratis. Prinsipnya adalah menerima barang-barang bekas, terutama jenis pakaian dan buku serta souvenir rumah yang diberikan secara bebas dan gratis.
2. Setelah thrifting itu diterima, maka tim khusus dari Oxfam Shop akan membersihkan dan menatanya secara khusus hingga terlihat bersih dan baru.
3. Selanjutnya pakaian bekas itu akan dipajang di ruangan bagian depan Oxfam Shop sesuai dengan kategori masing-masing dengan harga yang mudah terjangkau.
4. Pemasukan yang diperoleh selanjutnya akan menjadi dana untuk sumbangan kasih (Caritas).
Dari mana pakaian bekas itu diperoleh?
Di Jerman sudah menjadi kebiasaan umumnya bahwa pakaian yang lama, tidak disukai, terlalu sesak dan terlalu kecil tidak dibuang, tetapi akan diberikan ke Oxfam shop dan jenis shop lainnya.
Dari pengalaman beberapa kali mengunjungi Oxfam di Mainz terlihat setiap jam selalu saja ada yang datang membawa pakaian dan juga setelah menyerahkan pakaian mereka, mereka juga mencari pakaian bekas di Oxfam.
Pakaian-pakaian itu tidak hanya milik pribadi, tetapi juga milik dari orangtua mereka yang sudah meninggal dan tidak digunakan lagi.Â
Pada prinsipnya, jika tidak ada orang yang mengenakannya lagi, maka mereka akan menyerahkannya ke Oxfam Shop untuk dibersihkan dan dijual di sana.
Kepada siapa pakaian bekas itu diberikan?
Jerman punya kebiasaan yang sedikit berbeda terkait pakaian bekas. Ya, tentu saja pakaian bekas Jerman itu sangat bagus.
Saya masih ingat pada tahun 2017 ada tiga orang teman kami yang meninggal dunia. Ada tumpukan pakaian yang begitu banyak dari tiga orang itu.
Siapa yang bisa mengenakan pakaiannya orang bule. Ukurannya besar-besar semua. Sudah pasti tidak ada yang cocok untuk saya. Meskipun ada banyak juga pakaian-pakaian baru yang belum dipakai.
Tidak ada cara lain, selain kami mengantar sebagian pakaian itu ke Oxfam Shop untuk dijual sebagai bentuk sumbangan ke dana caritas. Sebagiannya lagi kami menyumbangkannya ke dinas sosial untuk dibagikan kepada pengungsi pada saat itu.
Singkatnya pakaian bekas hanya diberikan secara gratis kepada dinas sosial atau kepada jenis shop yang berorientasikan karya sosial- karitatif seperti Oxfam.
Pengalaman pribadi belanja di Oxfam
Cerita tentang thrifting membuat saya ingat kembali saat-saat memburu thrifting di Oxfam. Ya, cukup sering saya mengintip thrifting di Oxfam Shop.
Saya pernah membeli sepatu olahraga yang masih sangat bagus dengan harga 6 euro di Oxfam. Demikian juga sekali saya menemukan jenis jas musim dingin yang panjang dan tebal. Saya membeli jas itu cuma seharga 10 euro.
Kriteria yang penting diketahui apakah itu jas masih baru atau bekas yang sudah lama tentunya sederhana. Orang perlu memerhatikan jenis kain yang berada pada lapisan dalamnya.
Jika kain itu sangat mulus dan halus, maka itu berarti masih baru. Dan kriteria itu memang sangat membantu saya pada saat itu.Â
Memang ada perbedaan dari beberapa jas itu. Perbedaan terlihat dari bentuk kekusutan kain pada lapisan dalamnya.Â
Meskipun demikian, umumnya jas dengan berbagai ukuran terlihat baru, bersih dan bentuk yang sangat menarik ada disana. Ya, sangat menggiurkan apalagi harganya murah dan kualitasnya tidak kalah bagusnya.
Mengapa saya senang beli thrifting di Oxfam?
Sebenarnya orang kalau pakai gengsi ya susah untuk mampir ke Oxfam. Murah-murah bagaimanapun tetap beli di toko pakaian dan bukan di Oxfam Shop.
Pikiran ini yang membuat saya berani berburu thrifting di Oxfam yakni:
Lho orang pribumi di sini saja datang dengan mobil Mercedes mau mampir belanja di Oxfam Shop, lalu kenapa saya harus malu?
Ya, ada begitu banyak orang asli yang berbelanja di Oxfam Shop. Hal ini karena mereka tahu bahwa pakaian yang dijual itu sungguh bersih dan punya kualitas yang sangat bagus.
Tidak hanya itu, mereka merasa berharga karena apa yang mereka belanjakan itu justru disumbangkan untuk kepentingan bantuan kepada orang-orang yang tertimpa bencana, orang yang membutuhkan.
Saya pernah melihat seorang ibu yang sedang membeli sebuah jaket. Mungkin oleh karena saking murahnya, ibu itu memberi lebih 5 euro sebagai sumbangan. Ya, dari thrifting bisa diubah jadi caritas.
Perspektif terkait thrifting di Indonesia?
Konsep Oxfam Shop dengan beberapa prinsipnya mungkin saja bisa diterapkan di Indonesia. Dua hari kemarin, saya mendengar cerita seorang teman bahwa ada kenalannya yang membawa thrifting dari Malaysia begitu banyak dan telah ditahan oleh pihak keamanan.
Total biaya thrifting itu seluruhnya sekitar 1 Miliar. Mungkin dari kasus itu, muncul larangan thrifting. Pertanyaan sekarang, kalau jenis bisnis itu memang sudah dilarang dan sekian banyak pakaian itu ditahan. Lalu mau diapain?
Nah, tentu saja sangat tidak etis, kalau seandainya pihak yang menahan thrifting itu akhirnya diam-diam menjual barang tahanan itu.Â
Maka langkah yang paling baik bisa saja seandainya tidak ada lagi kebijakan untuk mengembalikan thrifting itu ke pemiliknya, maka mungkin saja konsep Oxfam Shop bisa dilakukan, daripada semuanya dimusnahkan dengan cara dibakar.
Kerugian tentu saja besar, terutama pengaruhnya bagi lingkungan hidup di sekitarnya. Daripada berdampak pada lingkungan, mendingan coba dinas bersangkutan atau mungkin dinas sosial mengubah thrifting itu menjadi caritas.
Ya, tentu saja dengan konsep dan prinsip yang mirip dengan konsep Oxfam Jerman.Â
Opsi tindakan yang berpihak pada kemanusiaan dan lingkungan hidup perlu ditempatkan sebagai prioritas.Â
Pengalaman, konsep berpikir, gagasan dan prinsip-prinsip yang mengubah thrifting hingga menjadi caritas bisa dilakukan di mana saja, yang penting bahwa unsur caritas itu tidak dihilangkan.
Apa itu caritas?
Nah, kali ini saya coba tanya ChatGPT tentang apa itu caritas. Berikut ini jawabannya:
"Caritas adalah kata Latin yang berarti "amal" atau "cinta sesama". Istilah itu mengacu pada kebajikan kasih Kristiani, yang melibatkan kepedulian dan membantu orang lain, terutama mereka yang kesusahan atau yang membutuhkan.Caritas juga sering digunakan sebagai sebutan untuk berbagai lembaga dan organisasi sosial yang biasanya berkecimpung dalam konteks Kristiani dan bertujuan untuk mendukung dan membantu orang yang membutuhkan.Â
Contohnya adalah asosiasi Caritas, yang aktif di banyak negara dan secara khusus menangani kebutuhan orang yang membutuhkan, serta institusi seperti rumah sakit, panti jompo, pusat konsultasi, dan layanan sosial lainnya."
Chat GPT dalam hal ini benar dan saya berterima kasih pada teknologi AI. Yang perlu saya tegaskan lagi sebenarnya bukan soal unsur kristianinya, tetapi soal visi bantuan sosialnya untuk orang yang membutuhkan.
Bagaimana orang bisa mengubah dari barang bekas atau 'kumpulan yang terbuang' menjadi uang dan bisa berguna untuk banyak orang lainnya.Â
Pesan singkat tentu saja, kalau kita punya pakaian bekas di rumah, yang tidak dipakai lagi, maka mungkin baiklah kita cuci bersih dan berikan kepada organisasi yang bisa mengubahnya dan menyalurkan kepada orang lain yang membutuhkan.
Salam berbagi, ino, 24.03.2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H