Mereka hadir kembali dalam ruang menulis dengan suara mereka.Â
Ada ruang yang mengubah suara menjadi kata. Pada saat itu, penulis tidak bisa lagi diam.Â
Saya pernah mencoba menulis dengan suara.Â
Tak semudah menulis dengan jari karena sudah terbiasa.Â
Komunikasi akrab antara pikiran, hati dan jari selama ini seakan sudah seiya sekata.Â
Jari sudah terbiasa menjalankan perintah pikiran tanpa banyak bicara.Â
Hati lalu diam-diam membaca ulang dan mengubahnya.Â
Mulut menunggu semua olahan itu hingga punya citarasa makna.Â
Penulis yang tidak banyak bicara itu telah memberi ruang terbuka kepada pembaca begitu banyak.Â
Ia menulis dan kata-katanya bicara di dalam pikiran dan hati orang.Â
Narasi kecil di awal hari, saat duduk bersila di atas tempat tidur.Â