Mungkin terasa aneh sekali saat membaca ini, ya karena kita belum benar-benar mengalami kekurangan makanan, tapi jika krisis ini benar-benar terjadi, maka tidak ada satupun yang mengeluh. Bahkan seperti tahun 1988, pagi, siang, malam, cuma makan makanan dari umbi-umbi hutan.
2. Mengubah pola hidup dan tuntutan adat serta pesta-pesta
Tradisi dan kebiasaan masyarakat yang berlindung pada tradisi kebudayaan seringkali menyiksa hidup sendiri. Bagaimana tidak? Semua sudah tahu seperti saat ini bahwa beras sangat mahal, namun ketika ada hajatan, mereka masih saja berani untuk mengadakan pesta besar.
Mereka sudah tahu juga bahwa pesta itu selalu menyedot anggaran besar dan bahkan belum ada cerita bahwa pesta itu menguntungkan.
Tentu saja untungnya dibagian solidaritas persaudaraan dan keakraban, tetapi secara ekonomi sudah pasti semakin menambah beban hidup.Â
Lilitan utang akan semakin besar. Belum lagi mana urusan anak sekolah yang dalam arti tertentu harus menjadi prioritas keluarga. Dalam situasi di ambang krisis seperti ini sebetulnya saat yang tepat untuk sedikit menahan diri dengan pikiran antisipatif.
Jika krisis itu benar sampai ke Indonesia, maka dampaknya akan sangat parah, soalnya krisis ini sudah mulai terasa di Eropa. Negara-negara maju saja sudah mulai terasa teriakan keoknya saat ini.
Oleh karena itu, saya pikir adalah sikap yang bijak jika tidak datang dari inisiatif pemerintah setempat, maka masyarakat sendiri secara pribadi perlu mengubah pola hidup mereka.
Adat dan kebiasaan itu tidak lebih penting dari nilai kehidupan manusia. Utamakan keselamatan hidup daripada pemenuhan hukum adat yang terkadang menyiksa pihak-pihak tertentu.
3. Perlunya usaha kreatif dan mandiri rumah tangga
Usaha mandiri yang kreatif itu sebenarnya bisa dilakukan di mana saja. Hal ini karena konteks orang-orang yang mengeluh harga beras mahal adalah sebagian besar orang di desa yang selama ini hidup dari hasil tanaman.