Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mentalitas Napa Tena dan Lack of Confidence

20 Februari 2023   16:11 Diperbarui: 20 Februari 2023   16:38 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mentalitas masyarakat tertentu sering menemukan afirmasi budaya bersamaan dengan kemajuan teknologi dan juga kemungkinan jalan pintas | Inosensius I. Sigaze.

Dunia perjokian tentu saja bisa diatasi dalam perjalanan waktu, jika saja setiap orang punya kesadaran yang positif terkait betapa pentingnya karya sendiri, berpikir mandiri dan kreatif mengembangkan gagasan dari nalar waras.

Dalam hal ini saya melihat ada celah yang datang dari latar belakang budaya tertentu yang mendukung praktek perjokian kian subur. 

Bahasa dan latar budaya itu bisa jadi ikut berpengaruh secara bawah sadar terkait praktik perjokian lebih-lebih kalau berdekatan dengan kemalasan pada sisi lainnya.

Mentalitas yang datang dari latar belakang budaya itu bisa saja dari setiap budaya di setiap daerah di Indonesia. Buktinya bahwa ada ungkapan khas yang terkait dengan kemungkinan hubungan perjokian.

Napa tena dalam pemahaman budaya Ende, Flores

Dalam tulisan ini, saya mengangkat budaya dan bahasa orang Ende, Flores dengan istilah khasnya "Napa tena". Ungkapan ini selalu berarti "menunggu dan terima bersih saja."

Napa itu berarti menunggu atau menunggu saja, tanpa melakukan sesuatu; sedangkan tena berarti seperti terbuka, menadah. Jadi singkatnya secara harfiah berarti seseorang menunggu saja pada kebaikan orang lain, tanpa ada daya untuk mengkritisi apakah itu baik untuk dirinya atau tidak.

Ungkapan "Napa tena" itu selalu punya konotasi negatif dalam pemahaman budaya kehidupan orang Ende. "Napa tena" itu sama saja dengan menjadi seperti seorang bayi hanya menunggu disuap saja, tanpa ada perjuangan. 

Bayi mungkin lebih baik, karena memang seperti itu keadaannya, ya tidak bisa ada kemungkinan lain, tapi bagi orang dewasa dan berpendidikan, bagaimana mungkin bisa dipahami dengan mentalitas yang hanya menunggu saja.

Mentalitas "Napa tena" itu tentu akan berdampak parah pada pendidikan, jika ada kemungkinan lain yang mendukung mentalitas itu sendiri.

Persoalannya bahwa orang-orang yang terlahir dengan mentalitas "Napa tena" bertemu dengan kehidupan dan budaya lain yang menawarkan sesuatu yang sama persis artinya dengan "Napa tena."

Afirmasi budaya dan fenomena perjokian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun