Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Hadiah Pernikahan di Tengah Relung Krisis Respek

6 Februari 2023   05:19 Diperbarui: 6 Februari 2023   20:32 652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hadiah pernikahan (Sumber gambar dari biz.kompas.com)

Masyarakat Indonesia harus tetap waspada terhadap pengaruh budaya modern yang penuh riuh pesta pora lalu melupakan respek dan simbol budaya yang penting bagi kehidupan dan masa depan generasi muda | Ino Sigaze

Hadiah pernikahan? Duh tema ini sangat menarik deh. Menulis kembali tentang hadiah pernikahan, mengantar saya untuk melihat kembali hadiah pernikahan di masa lalu dan juga masa sekarang.

Masih segar dalam ingatan saya tentunya tentang hadiah pernikahan pada tahun 1990-an dan juga hadiah pernikahan di zaman sekarang.

Ulasan ini berangkat dari konteks budaya Flores. Budaya Flores secara sangat sistematis mengatur hadiah pernikahan. Dari sisi budaya, sebenarnya hadiah itu bisa saja kehilangan maknanya di Flores dalam perkembangan zaman.

Apa artinya hadiah pernikahan, jika saja setelah hadiah itu diberikan ada seorang yang melihat dan mencatatnya, barangnya apa dan dari siapa?

Esensi dari hadiah yang erat sekali hubungannya dengan kata gratis atau cuma-cuma perlahan tidak bisa lagi dimaknai di sana oleh karena sistem adat dan budaya malu yang tinggi.

Tanpa disadari hiduplah suatu konsep dengan logika seperti ini, "Jika kita menerima seperti itu, maka kita juga bisa memberi seperti itu"

Ya, bisa juga sih, kalau dibilang konteks hadiah pernikahan itu ada hubungannya dengan "do ut des" yang sangat halus dan ramah. 

Pada satu sisi, memberi hadiah pernikahan itu diterima sebagai kebiasaan yang normal, sebagai bagian dari bukti dukungan kepada keluarga baru, tetapi pada sisi yang lainnya di sana ada harapan yang tidak bisa dibohongi bahwa nanti kalau ada hajatan, pihak penerima akan datang kembali membawa hadiah.

Dalam konteks seperti itulah, saya mengalami bahwa orang-orang di kampung saya memberikan hadiah pernikahan secara berbeda-beda sesuai status adat mereka terhadap pengantin.

Namun, harus dipertegas bahwa hadiah itu bukan belis. Akan tetapi prinsip kesantunannya tetap saja mengikuti hukum adat yang berlaku di sana.

Praktisnya bahwa ada yang hanya bisa memberikan hadiah pernikahan sarung laki-laki, tetapi juga ada yang hanya bisa memberikan hadiah baju perempuan dan sarung perempuan.

Misalnya kalau saya sebagai pihak saudara datang ke pihak saudari, maka saya membawa baju perempuan atau sarung perempuan. Demikian juga ke pihak yang menikah itu sebagai saudara, maka saya bisa saja memberikan hadiah berupa uang.

Sedangkan bagi mereka yang tidak punya hubungan kekeluargaan, mereka bisa memberikan hadiah apa saja sesuai kemampuan mereka.

Meskipun kebebasan itu diberikan, umumnya untuk orang dewasa di Flores mereka selalu membawa lembaran entah sarung laki-laki atau sarung perempuan, baju, dan hadiah lainnya seperti piring gelas dan perlengkapan dapur.

Hadiah pernikahan di tengah  relung krisis respek | Ilutrasi dokumen pribadi oleh Inosensius I. Sigaze
Hadiah pernikahan di tengah  relung krisis respek | Ilutrasi dokumen pribadi oleh Inosensius I. Sigaze

Hadiah yang unik biasanya datang dari teman sebaya. Bagi teman sebaya, mereka sudah tahu persis apa yang paling dibutuhkan oleh teman yang menikah. 

Pada umumnya hadiah perlengkapan dapur itu selalu menjadi pilihan. Konsep dasar mereka sederhana, setelah selesai pernikahan, keduanya harus terpisah dari orangtua mereka untuk membangun hidup baru dalam rumah tangga mereka.

Hidup baru sebagai keluarga itu tentu membutuhkan persiapan mulai dari dapur kehidupan rumah tangga. Nah, pola pikir seperti itu masih ditemukan pada tahun 1990-an.

Belakangan ini, terasa sekali bahwa hadiah pernikahan juga ikut pengaruh modernisasi. Bahkan bisa juga dikatakan sedang berada di jantung krisis peradaban.

Mengapa saya mengatakan demikian? Liburan tahun lalu memberikan saya pengalaman istimewa. Saya menghadiri beberapa pesta pernikahan di kampung.

Tuan pesta keluarga dari kedua belah pihak tentu saja mempersiapkan pesta secara luar biasa. Bagaimana tidak, coba bayangkan untuk suatu pesta keluarga minimal mempersiapkan sapi 2-3 ekor sapi dan jenis binatang lainnya.

Biaya yang pasti ada tentu saja, biaya tenda yang sudah jadi, Satu kotak berapa harganya, tapi ada juga yang satu paket tenda, dekorasi dan sound system, kurang lebih seharga 5 juta.

Biaya peminjaman kursi, anggota koor dan tenaga pelayan. Belum lagi, biaya minuman dan lainnya sebagainya. Sudah dapat dipastikan bahwa biaya pesta pernikahan membutuhkan biaya minimal 30 juta untuk di kampung atau bisa juga lebih dari itu.

Pada hari pernikahan, tampak undangan yang hadir hampir tidak bisa dihitung dengan jari, soalnya tamu yang tidak diundang pun merasa punya hak untuk hadir.

Itulah budaya hidup persaudaraan yang lucu, tapi menarik dari sisi solidaritasnya yang unik. Sayangnya bahwa segi jumlah yang banyak itu, tidak bisa sama sekali berimbang dengan pemasukan nantinya.

Pernah terjadi bahwa hadiah pernikahan dalam bentuk uang cuma 2 juta rupiah, padahal berapa pengeluarannya. Ya, mungkin 30-40 juta. Orang Flores biasa bilang, "Aduh mama, bandar hancur."

Pertama mendengar cerita itu di bulan Agustus 2022 lalu, saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Beberapa orang kampung di sana mengatakan begini, "Oh itu biasa, yang penting itu meriah. Kami bisa menari sampai siang, minum sampai mabuk berputar-putar, tak peduli tua atau muda, yang penting "bento" kita goyang sampai pagi."

Ya, dilema banget. Mau mengeluh kenapa bisa begitu. Ya, mereka sebenarnya sudah tahu konteks pesta di sana seperti itu. Tuan pesta tidak akan memperoleh untungnya. Tapi, mereka tetap saja buat pesta.

Itulah soalnya, yang bagi kami di sana sangat penting, "gengsi bung". Gengsi sosial itu begitu kuat, sehingga tuan pesta setelah itu babak belur, utang sana sini.

Tamu undangan dan tamu yang tidak diundang datang bawa amplop tapi isinya 1000, 2000, 5000, syukur-syukur 10.000 rupiah. Keluarga dekat mungkin 50.000, bagi yang ancang-ancang caleg mungkin 100-250.000 rupiah.

Itulah hasil survei kecil saat liburan kali lalu. Saya merasakan betapa besarnya pergeseran kebiasaan itu terjadi. Hadiah pernikahan untuk pengantin baru di Flores mungkin harus siap-siap menuai kekecewaan.

Tentu saja tidak semua daerah di Flores yang punya kebiasaan itu, tapi terasa itu cukup umum. Mungkinkah karena pesta pernikahan di tengah krisis covid19?

Dari kenyataan itu, terasa sekali bahwa budaya dan peradaban itu bisa saja berubah oleh karena selera zaman yang berbeda. 

Dari beberapa kenyataan di atas, saya melihat ada beberapa kemungkinan, mengapa terjadi pergeseran budaya dalam memberikan hadiah pernikahan:

1. Generasi muda tidak banyak yang mengenal budaya dan tradisi adat istiadatnya

Faktor pendidikan yang berpusat di kota, menjadikan anak-anak generasi muda saat itu cuma berfokus pada budaya modern yang semata-mata bersembunyi dibalik amplop murah.

Siapa yang tahu berapa isinya dan dari siapa karena semua pakai amplop. Amplop itu menjadikan generasi muda kehilangan rasa malu. Berbeda dengan generasi 1990-an yang mengerti hadiah pernikahan itu sebagai "buah tangan".

Buah tangan artinya pada tangan mereka ada sesuatu yang mereka bawa dan tentu saja berarti. Saya jadi ingat, ada satu daerah di Flores yang memberikan hadiah dalam bentuk simbol buah tangan.

Mereka membawa sepotong tali plastik. Seutas tali itu artinya hadiahnya sapi satu ekor. Wow, paling kecil 2,5 juta sudah pasti. Bisa juga sampai 9 juta.

Ya, kemajuan zaman ini tanpa disadari kita sudah kehilangan simbol budaya yang punya arti besar untuk saling mendukung dan menopang kehidupan.

2. Pergantian generasi tanpa regenerasi nilai-nilai yang teratur dan baik

Kehilangan generasi tua yang bijak dengan wawasan budaya dan adat istiadat, serta kebijaksanaan lokal mereka tanpa disadari mempengaruhi pola pikir generasi baru saat ini.

Generasi muda yang pola pikir mereka hanya terpaut pada kemeriahan konyol dan kosong. Ya, gimana gak? Datang tanpa diundang, tanpa rasa malu pula. Sudah seperti itu, isi amplop mereka cuma 2000 rupiah.

Mereka mungkin punya uang, tapi uang mereka itu disiapkan untuk membeli miras yang juga dijual di tempat pesta. Uniknya lagi, penjual itu ada di sekitar panggung pesta.

Kalau saya mengamati itu, terasa betapa budaya kehidupan manusia ini sedang diterpa oleh kedangkalan hidup, sampai pada nilai-nilai dalam sekejap tidak dipedulikan lagi karena isi otak generasi mudah sudah diguncang minuman keras.

Di mana posisi penting dari hadiah pernikahan? 

Tampaknya kemerosotan kesadaran ini muncul dari desa. Desa-desa kita tanpa ada regulasi yang menata kehidupan generasi muda menjadi lebih teratur dan berperikemanusiaan.

Tidak hanya itu tua-tua adat kita menerima begitu saja perubahan itu, dengan dalil, "ah ini kan cuma sekali-kali saja, sudahlah kita nikmati kemeriahan ini."

3. Manusia dewasa ini haus hiburan

Berdasarkan diskusi dengan beberapa tokoh masyarakat selama liburan tahun lalu terkait fenomena pesta pernikahan dan hadiah pernikahan, saya punya asumsi bahwa manusia dewasa ini haus hiburan.

Saya tidak lagi menyebut generasi muda, karena kenyataan membuktikan bahwa yang hadir di panggung pesta itu bukan cuma orang-orang muda, tetapi tua-tua juga tidak kalah semangatnya.

Mungkin seperti tren di kota-kota besar di daratan Jawa, seperti selera saweran itu datang pula orang-orang tua yang sudah sempoyongan langkahnya, tapi nekad berdansa dan saweran dengan gadis muda belia.

Kenyataan-kenyataan itu, pernah ada gagasan dari seorang pemuda, katanya, "gimana kalau dibuatkan tempat hiburan tanpa alkohol. Siapa saja yang mau menari dengan aneka musik dia harus membayar dulu berapa harganya."

Ide itu masih terasa problematis. Pada prinsipnya bahwa manusia dewasa ini haus hiburan, jadi mungkin perlu ada event bersama dan bukan dalam pesta pernikahan supaya ada momen untuk menari dan berpesta ria.

Bagaimana bisa mengembalikan kecenderungan krisis seperti itu?

Mengubah mentalitas masyarakat tentu saja tidak mudah dengan sekali bicara. Perlu adanya pendekatan dan kerjasama semua pihak. 

Tentu saja pertama-tama pemerintah desa dan pemerintahan adat mesti lebih dahulu mencermati analisis tentang krisis yang tengah menggerogoti mentalitas masyarakat saat ini.

Kajian terkait kenyataan sosial itu bisa sangat membantu untuk mengambil langkah kebijakan apa yang penting dan perlu untuk masyarakat dari poros hukum adat dan regulasi desa.

Tentu tidak kalah pentingnya adalah perlunya kerjasama dengan institusi agama. Mengapa tidak? Jika saja penting untuk perubahan mentalitas kehidupan masyarakat kita, maka saya pikir sangat penting adanya kerjasama dan kebijakan bersama yang menata kehidupan supaya menjadi lebih baik.

Sampai dengan saat ini, rasanya belum ada kegiatan semacam seminar budaya di desa-desa yang coba mengangkat fenomena perubahan zaman ini dan mengkajinya secara terbuka dengan visi mengubah perspektif masyarakat terkait konteks kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak melupakan budaya dan adat istiadatnya.

Salam berbagi, ino, 6.02.2023.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun