Kapan Indonesia memasuki era awal perdagangan global, jika terbukti bahwa mumifikasi Mesir kuno ada indikasi hubungan dagang dengan Asia Tenggara? | Ino Sigaze.
Mesir yang dikenal sebagai negeri Firaun itu punya daya tarik istimewa terkait mumifikasi orang mati.Â
Mumifikasi orang mati menjadi sangat populer di pemberitaan internasional baru-baru ini karena peneliti Jerman berhasil mengungkapkan bagaimana mayat itu dibalsem.
Peneliti Jerman bukan saja membongkar sejarah mumifikasi Mesir kuno, tetapi lebih dari itu berhasil menunjukkan dengan tepat proses pembalseman dan bahan apa yang digunakan orang Mesir kuno untuk membalsem mumi mereka.
Tim gabungan peneliti Jerman-Mesir berhasil menunjukkan zat mana yang selama ini dirahasiakan dan zat mana yang dioles pada setiap bagian tubuh orang mati.Â
Tegas seorang peneliti Jerman, Philipp Stockhammer dari Universitas Ludwig Maximilian (LMU) di München, "Temuan ini memungkinkan untuk membaca ulang teks yang diketahui tentang pembalseman mesir kuno."
Penelitian ini didukung oleh dana yang besar dari berbagai negara sebagai bukti munculnya jaringan interese terkait penelitian mumifikasi di Mesir kuno.
Saat ini sudah ada publikasi resmi hasil penelitian tim dari LMU dan Universitas Tübingen, Jerman yang bekerjasama dengan Pusat Penelitian di Kairo, Mesir. Media Jerman telang memberitakan itu dan telah diterbitkan dalam Fachmagazin atau Jurnal "Nature".Â
Pemeriksaan pot bengkel pembalseman di kedalaman 13 meter
Apa yang dilakukan peneliti gabungan itu tidak lain bahwa mereka telah memeriksa pot dari bengkel pembalseman besar.Â
Bengkel pembalseman besar itu ada di Saqqara Mesir yang letaknya tidak terlalu jauh dari Piramida Unas yang telah mendunia itu. Dari hasil pemeriksaan itu ditemukan ada banyak bejana keramik yang terawat dengan utuh dan berkualitas baik di dalam bengkel dari abad ke-7 dan ke-6 SM.Â
Satu hal yang sangat penting dari temuan itu ternyata pada keramik itu ada label informasi tentang isi dan petunjuk penggunaan balsem.
Ternyata balsem yang dipakai sebagai zat untuk mumifikasi di Mesir kuno itu adalah terbuat dari minyak cedar dan lemak hewani. Temuan ini tidak hanya asal kalim, tetapi telah diuji melalui proses analisis residu kimia.Â
Ya, peneliti gabungan itu telah melakukan kerja keras dengan mengekstraksi dan mengidentifikasi residu molekuler dari zat-zat yang sebelum berada di dalam bejana.
Begini sebuah pembuktian penting yang pertama-tema mengejutkan peneliti datang dari laporan seorang manajer proyek dari Universitas Tübingen, Maxime Ragout:
 "Untuk waktu lama, zat yang dirujuk oleh orang Mesir kuno sebagai antiu yang telah diterjemahkan sebagai mur atau kemenyan. Tetapi, kami sekarang telah dapat menunjukkan bahwa itu adalah campuran spesifik yang sangat berbeda. Bahan yang kami gunakan kromatografi gas-spektrometri massa."
Antiu itu ternyata di Saqqara merupakan hasil campuran dari minyak cedar, juniper atau minyak cemara dan lemak hewani.Â
Dari pembuktikan bisa dikatakan bahwa dibalik Zefet atau Zypresseöl bukanlah zat tunggal sebagaimana yang diasumsikan sebelumnya, melainkan campuran lemak hewani dan resin nabati yang berbeda.Â
Bahkan peneliti gabungan itu menemukan klasifikasi zat itu digunakan secara berbeda pada bagian tubuh: Resin pistachio digunakan pada bagian kepala, zat lainnya dipakai pada hari ketiga atau untuk bagian hati dan yang lainnya untuk kecantikan kulit.Â
Peneliti gabungan itu, melalui Susanne Beck dari Universitas Tübingen juga mengakui bahwa banyak dari zat pembalseman itu telah diketahui nama-namanya sejak lama ketika tulisan Mesir kuno bisa dibaca oleh peneliti sebelumnya.Â
Peran dari peneliti gabungan itu adalah meneliti terkait substansi atau bahan dasar apa dibalik nama-nama yang terkenal itu.
Ruangan pembalseman dan strategi pendinginan alami
Laporan yang menarik lainnya ternyata ruangan pembalseman itu cukup dalam yakni 13 meter.Â
Tidak hanya soal kenyataan tersembunyi itu, tetapi juga ada hal yang sangat mengejutkan peneliti gabungan itu sendiri terkait temuan mereka yang satu ini, yakni bahwa sebagian besar zat yang digunakan selama pembalseman itu tidak hanya berasal dari Mesir sendiri, tetapi diimpor dari wilayah Afrika tropis, Mediterania dan dari Asia Tenggara.
Stockhammer bahkan menegaskan bahwa temuan ini belum pernah diungkapkan sebelumnya.Â
Sampai pada kenyataan ini, sebenarnya untuk pembaca Indonesia, pikiran kita bisa langsung terarah kepada pertanyaan, apakah mumifikasi pada suku-suku tradisional di Indonesia juga menggunakan bahan pengawet yang sama?Â
Ada mumi di Wamena, Papua dengan usia 250 tahun, Mumi di suku Toraja, Sulawesi Selatan dan beberapa daerah lainnya. Apakah sudah ada jaringan perdagangan global antara Indonesia dan Mesir?
Peneliti gabungan Jerman-Mesir juga menegaskan bahwa temuan terkait asal bahan dasar yang dipakai untuk mumifikasi itu mengindikasikan bahwa titik awal dari perdagangan global.Â
Memang harus diakui bahwa mumi di Saqqara Mesir itu memiliki keunikannya sendiri: orang mati dibalsem dalam skala besar itu hanya untuk orang yang berasal dari kelas menengah ke atas. Mumi tampaknya ada hubungannya dengan sistem sosial Mesir saat itu.Â
Namun, hal yang pasti bahwa proses dan bahan yang digunakan dalam tradisi pembalseman selama lebih dari 4000 tahun tentu tidak sama dan tidak bisa dibandingkan dengan di Saqqara.
Kesaksian dari peneliti gabungan itu bahwa bengkel pembalseman itu dirancang untuk suatu pergantian besar yakni di sebelah unit permukaan tanah, ruangan pembalseman yang sebenarnya sebagaimana ditemukan pada tahun 2016 oleh Egyptologist, Ramadan Hussein.Â
Kedalaman lubang pembalseman 13 meter itu tidak lain untuk alasan pendinginan alami. Ruangan pembalseman itu tidak jauh dari kuburan. Dugaan dari peneliti rupanya ada tingkatan mumifikasi dengan biaya yang berbeda-beda. Ya, rupanya beda kelas sosial, beda pula biayanya.
Sumber dari: ntv.de.Â
Salam berbagi, ino, 5.02.2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H