Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Mengapa Tidak Ada RUU untuk Perlindungan Ibu Pekerja Rumah Tangga

2 Februari 2023   19:05 Diperbarui: 3 Februari 2023   15:12 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengapa tidak ada RUU untuk Perlindungan ibu pekerja rumah tangga | Dokumen pribadi oleh Inosensius I. Sigaze

RUU PRT sebetulnya tidak hanya mengatur soal perlindungan PRT, tetapi juga soal siapa dan bagaimana konsekuensi sebagai PRT dan bagaimana peran PRT dalam keseharian itu secara adil dan merata | Ino Sigaze.

Rancangan Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) tentu saja ditunggu pengesahannya, namun mengapa sampai 19 tahun toh belum juga ada tanda-tanda pengesahan?

Tentu saat ini merupakan momen yang tepat kalau RUU PRT itu diangkat kembali ke permukaan supaya dikaji dari berbagai sudut pandang.

Tulisan ini adalah salah satu sudut pandang analisis terkait kemungkinan penundaan itu dan kemungkinan perubahan definisi yang memberikan aksen baru terkait pekerja rumah tangga dan peran ibu rumah tangga.

Mengapa perlu ditunda dan aksen baru apa yang penting dilihat oleh pemerintah sebelum pengesahan UU PRT?

Berikut ini beberapa pertimbangannya:

Seperti apa pakar hukum memberikan definisi tentang pekerja rumah tangga

Umumnya yang terlihat di masyarakat kita bukan pekerja rumah tangga, tetapi pembantu rumah tangga. 

Status sebagai pembantu rumah tangga (PeRT) itu dikenal di mana-mana. Tugas pembantu rumah tangga, belum didefinisikan secara jelas.  Oleh karena itu, majikan merasa punya kebebasan untuk mengatur sesuka hatinya. 

Sudah pasti status itu bukanlah status tinggi di masyarakat, mungkin cuma sedikit berbeda dengan zaman dulu yang terang benderang menyebutnya budak rumah tangga. 

Anehnya lagi, sampai saat ini, yang namanya pembantu rumah tangga itu kebanyakan perempuan, meski ada juga laki-laki. 

Apakah pekerja rumah tangga adalah mereka yang melakukan pekerjaan sehari-hari di rumah dari suatu keluarga? 

Bagaimana dengan keluarga yang tidak punya pembantu rumah tangga, tetapi pekerjaan rumah tangga itu diambil alih oleh sang ibu rumah tangga? 

Saya lebih tertarik jika definisi pekerja rumah tangga itu akhirnya merujuk kepada status pekerjaan ibu rumah tangga. 

Mampukah pemerintah memberikan gaji kepada semua ibu rumah tangga? 

Tentu saja lebih mudah bagi pemerintah untuk memikirkan pembantu rumah tangga daripada ibu pekerja rumah tangga? Mengapa? 

Hal ini karena kenyataan menunjukkan bahwa pembantu rumah tangga lebih sedikit jumlahnya, daripada ibu rumah tangga. 

Meskipun demikian, bukan soal jumlahnya yang perlu dipikirkan saat ini, tetapi soal peran mereka di dalam menjalankan roda kehidupan rumah tangga. 

Seorang ibu dalam arti tertentu sebenarnya merekalah pelaku pekerjaan rumah tangga; kalau pembantunya digaji, dilindungi, ya mengapa kaum ibu yang setiap hari bekerja itu tidak digaji dan dilindungi? 

Dalam hal ini, saya pikir sangat penting pihak pemerintah dan ahli hukum membuat suatu pembatasan yang jelas terkait nama-nama itu dan fungsi tugas mereka. 

Pada prinsipnya hak pekerja rumah tangga pantas dilindungi, demikian juga pekerjaan ibu juga perlu diakui, tanpa bedakan apa status pendidikannya. 

RUU PRT di Indonesia akan menjadi konsumsi dunia

Pengakuan dan perlindungan tenaga kerja perempuan itu belum banyak dilakukan oleh negara-negara di dunia. 

Coba perhatikan, di Jerman misalnya: setinggi-tingginya level pendidikan perempuan dan sepenting apapun perannya, tidak memperoleh gaji lebih dari laki-laki dalam suatu perusahan atau kantor yang sama. Oh sadis bukan? 

Nah, jika Indonesia berani mengubah cara pandang tentang peran penting dari ibu rumah tangga dengan status hukum yang melindungi mereka dan bahkan pemerintah memberikan penetapan gaji kepada  mereka, maka bisa saja Indonesia menjadi negara pertama yang paling memperhatikan nasib kaum perempuan. 

Pertanyaannya, siapa yang harus memberikan gaji kepada ibu pekerja rumah tangga? 

Ada beberapa kemungkinan terkait sistem gaji

Pertama, jika suami seorang PNS, maka tentu saja gajinya dari pemerintah. 

Kedua, jika suaminya bekerja di perusahan swasta, maka gaji istrinya diberikan oleh pihak perusahaan swasta itu. 

Ketiga, jika suaminya sebagai petani dan pekerja lainnya, bukan PNS dan bukan pekerja di perusahaan, maka akan digaji pemerintah. 

Mungkinkah hal itu direalisasikan? Jangan lihat bahwa hal itu tidak adil lho? Tunggu dulu, ibu rumah tangga dari keluarga petani itu juga punya andil menyiapkan rumah tangga dan anak-anak mereka untuk proses pendidikan yang baik dan bisa menjadi abdi negara. 

Jadi, mereka punya hak yang sama seharusnya diperhitungkan. 

Jika pemberlakuan dengan kategori seperti itu, maka status pembantu rumah tangga, harus digaji oleh pihak rumah di mana ia bekerja dengan ketentuan gaji, sebesar gaji ibu rumah tangga. 

Tentu saja alangkah baiknya jika majikan memberikan gaji yang lebih besar lagi. 

Solusi seperti itu, tentu saja akan menekan angka pengangguran, karena semua ibu rumah tangga akan diakui pemerintah sebagai pekerja rumah tangga. Pengakuan itu logis dan benar. 

Belum lewat soal definisi pekerja rumah tangga, tidak bisa disangkal bahwa ada pula kenyataan, pekerja rumah tangga itu dilakukan oleh sang suami. 

Mungkin karena sang istri adalah PNS, maka perhitungan yang sama mesti diberikan juga kepada suami dengan status PRT. 

Kalau sampai seperti itu, maka pertanyaanya, bagaimana dengan keluarga yang suami istrinya sama-sama petani? Pada posisi seperti itu, maka hanya salah satu  kemungkinan sebagai PRT yang terkait pasal hukum dan terkait soal gaji. 

Seorang ibu selalu punya tanggung jawab untuk membereskan urusan rumah tangga mereka. 

Nah, dari ulasan di atas tampak sekali betapa rumitnya hal-hal yang terkait dengan RUU PRT itu sendiri. Hal ini karena berkaitan dengan bermacam-macam definisi dan juga konsekuensi hukumnya.

RUU PRT dan konsekuensinya

Kemungkinan itu akan menjadi mudah, jika negara kita sudah mencapai tingkat kemandirian ekonomi yang luar biasa setara dengan negara-negara maju lainnya. 

Ya, kalau saja negara bisa memberikan gaji kepada semua ibu yang menjadi pelaku pekerja rumah tangga di rumah mereka, maka sebenarnya semakin bagus.

Standar kecukupan dan kelayakan hidup, mungkin menjadi lebih maksimal dirasakan oleh semua rakyat khususnya kaum ibu yang selalu bekerja mengurus rumah tangga mereka.

Sebaliknya, jika batasan hukum kita lebih berorientasikan pada pekerja rumah tangga (PRT) sebagai tenaga ekstra yang bekerja di rumah tangga orang lain, yang biasanya dimengerti sebagai pembantu rumah tangga (PeRT), maka sebenarnya ada ketidakadilan terjadi di sana.

Ada begitu banyak kaum ibu yang mengambil alih tugas pekerja rumah tangga (PRT), tanpa digaji. Peran yang sama dimainkan oleh sang ibu, kenapa pembantu dalam kategori PRT itu digaji dan diatur secara hukum dan ibu yang melakukan pekerjaan rumah tangga itu tidak?

Tujuan dan peran PRT dan ibu pekerja rumah tangga sebenarnya sama yakni mengurus segala urusan rumah tangga, memperlancar, mendukung pekerjaan keluarga. 

Kalau fokus RUU PRT hanya pada pekerjaan dan bukan ibu pekerja, maka tanpa disadari RUU PRT itu sedang tidak adil karena hanya memberikan kemungkinan bagi orang mampu yang bisa membiayai para PRT.

RUU PRT sebetulnya tidak hanya mengatur soal perlindungan PRT, tetapi juga soal siapa dan bagaimana konsekuensi sebagai PRT dan bagaimana peran PRT dalam keseharian itu secara adil dan merata.

Oleh karena itu, ada beberapa kesimpulan :

1. RUU PRT menjadi begitu lama sebelum disahkan karena kompleksitas bidang sasaran hukumnya.

2. Tim ahli hukum yang merancang UU PRT mempertimbangkan banyak aspek yang terkait dengan segala konsekuensinya.

3. Cita-cita besar untuk suatu keadilan sosial, namun belum imbang dengan kemandirian ekonomi secara umum.

4. Definisi istilah harus jelas, supaya yang satu tidak selalu dirangkul, sementara yang lain disingkirkan terus-menerus.

Salam berbagi, ino, 2. Februari 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun