Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Membaca Kembali Gagasan Sebulan, Memotivasi Diri untuk Terus Menulis

1 Februari 2023   04:01 Diperbarui: 1 Februari 2023   04:05 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membaca kembali gagasan sebulan, memotivasi diri untuk terus menulis | Dokumen pribadi oleh Inosensius I. Sigaze.

Sekali meninggalkan gagasan, terbitlah komentar dan cara pandang baru setelahnya | Ino Sigaze.

Hari terakhir bulan Januari hampir berakhir, tiba-tiba saja muncul pertanyaan yang tidak biasa. Sedikit menantang, namun tak mau menjadi sama seperti apa yang ditulis teman-teman.

Apa yang bisa saya tulis di hari terakhir di bulan Januari 2023? Menulis puisi kecil tentang Januari, duh rasanya sudah banyak banget. Gak enak, gak berani, takut nyaris sama gagasannya.

Oleh karena itu, saya coba membuka kembali lembaran tulisan dari tanggal 31 sampai ke tanggal 1 dan membaca secara singkat. Pertanyaan yang lagi-lagi konyol muncul, adakah gagasan yang masih saya ingat dari apa yang saya tuliskan selama bulan Januari ini?

Kok rasanya, gak banyak yang bisa diingat. Kenapa ya? Sedikit diam dan merenung, eh ternyata mungkin faktor jumlah, ada sekitar 29 tulisan selama bulan Januari tentu saja, saya gak bisa ingat semua gagasan apa yang pernah saya tuangkan.

Jangankan menghitung gagasan, menghafal judul-judulnya saja sudah gak bisa. Dari situ saya termotivasi untuk membongkar kembali tulisan-tulisan kecil itu.

Saya jadi tahu kenapa tulisan saya di bulan ini cuma 30 tulisan? Oh ternyata pada tanggal 1 Januari saya gak menulis apa-apa? Kenapa ya? Apapun alasan saya, sudah pasti bahwa 1 hari itu adalah hari tanpa meninggalkan gagasan.

Terasa sayang sekali, kenapa saya gak menulis singkat saja. Masak sih tidak ada ide sama sekali dalam sehari? Itu protes terhadap diri sendiri.

Saya hanya mau mengatakan bahwa refleksi ini hanya memberi motivasi bahwa lebih baik meninggalkan satu gagasan kecil, daripada membiarkan hari-hari itu pergi tanpa gagasan.

Belajar lagi dari anak-anak agar jiwamu damai

Setelah berlalu tanpa menyimpan kata kenangan, pada tanggal 2 Januari saya menulis kembali tentang sebuah acara yang diselenggarakan oleh Keuskupan Limburg pada 30 Desember 2022.

Sternsinger pada momen itu membawa saya pada gagasan tentang spiritualitas menjadi seorang anak yang memampukan kita untuk merasakan kedamaian. Kita perlu belajar juga dari anak-anak.

Paus Benediktus ke-16 wafa, pertanyaan dan kekosongan kata

Saya terpesona dengan ucapannya, "Akal tidak bisa disembuhkan tanpa iman, tetapi iman tidak bisa menjadi manusia tanpa akal." Duh pening juga tuh untuk merenungkan lagi ucapan ini. tapi, prinsipnya sederhana akal pikiran manusia akan semakin jernih berpikir jika dilandasi dengan dasar iman yang benar.

Bagi siapa saja yang tidak mengerti tentang segala sesuatu, atau bahkan tidak mengerti tentang keadaan orang lain, biasanya orang mengajukan pertanyaan. Tapi, jangan lupa jangan terus-terus mengajukan pertanyaan yang sama, apalagi terkait kesalahan seseorang.

Saat itu saya coba menuangkan gagasan tentang mengapa orang mengajukan pertanyaan yang sama dan mengapa orang tidak suka mendengar pertanyaan yang sama-sama.

Dari situ muncul buah permenungan seperti ini, "bertanyalah bukan untuk merendahkan orang lain, tetapi untuk mendapatkan informasi yang benar dan mengikat persaudaraan dan keakraban."

Entah kenapa tiba-tiba dari tanggal 3-16 Januari saya tidak meninggalkan tulisan apa-apa. Waduh baru tahu di akhir Januari, ternyata belum konsisten setiap hari menulis.

Sistem yang menghilangkan perbedaan

Pada tanggal 17 Januari muncul ide tentang hilangkan perbedaan kaya-miskin dengan sistem kartu dalam urusan transportasi menggunakan kereta api di Indonesia. 

Gagasan itu diberi penghargaan sebagai artikel utama. Kata-kata yang khusus muncul saat itu seperti ini, "Sistem apa saja yang membuat orang lain terdepak secara sosial tentu saja tidak baik, karena kita adalah satu bangsa dan punya hak hidup dan hak memperoleh pelayanan yang sama."

Jika tanpa ada waktu untuk menulis pada saat itu, maka saya tidak punya ungkapan seperti itu juga. Itulah untungnya menulis, tidak ada hari yang berlalu tanpa kata yang ditinggalkan untuk dibaca.

Gagasan lato-lato dan segelas kopi menikmati puisi

Saat menulis ini tiba-tiba saja saya tertarik bukan saja pada apa yang sudah tuliskan, tetapi lebih berfokus pada reaksi dari teman-teman penulis yang membaca. 

Pada bagian tulisan lato-lato politik, saya sangat berkesan dengan komentar penulis Komapsiana, Sri Rohmatiah Djalil, tulisnya, "Dengan saling tabrak akan muncul keributan. Semoga suasana politik tidak ada keributan."

Dari komentar itu tampak ada logika, jika saling tabrak, maka akan ribut. Tapi juga ada doa dan harapan bahwa suasana politik yang kondusif dan aman.

Rupanya dari gagasan lato-lato itu munculah barisan puisi selanjutnya tentang riuh resah kata-kata, tidak terduga bahwa puisi kecil itu akhirnya menuai 2 komentar. 

Satu komentar pilihan yang tidak saya duga datang dari penulis Kompasiana, Widz Stoops, tulisnya, "saya sangat menikmatinya beserta hangatnya segelas kopi." 

Tidak pernah saya bayangkan bahwa ada seorang penulis yang membaca puisi dengan segelas kopi di tangannya. Kopi dan puisi bisa menjadi dua nama yang melahirkan gagasan-gagasan.

Gesa wasi ala Flores, lokal dan nasional

Sorotan topik pilihan Kompasiana menghantar saya pada ungkapan lokal terkait seleksi caleg di republik ini. Gesa wasi sebuah pendekatan lokal yang punya banyak wajah.

Ada wajah promosi diri, ada wajah untuk membangkit daya tarik, simpati. Artikel itu diberi label artikel utama, kaget juga sih. Ternyata yang lokal tidak selalu jelek ya. Malah bisa saja bahwa yang lokal punya keunikan sendiri.

Saya hanya mencoba membawa ungkapan lokal ke konteks lebih umum hanya atas dasar keyakinan bahwa di rumah ini kita belajar saling menghargai.

Gesa wasi bisa menjadi gagasan berbagi istilah lokal yang punya makna luas untuk konteks nasional. Apresiasi saya berikan untuk Kompasiana dan Timnya yang sudah punya keterbukaan ini.

Komentar menarik pada sesi tulisan ini datang dari penulis Kompasiana, Suprihati, tulisnya, "Wasi semata tidak mempan ya, pemilih kian cerdas. Kiranya caleg merawat kepercayaan pemilih."

Aksen tentang merawat kepercayaan pemilih itu menjadi poin yang sangat penting. Dan saya sangat senang bahwa poin itu ditegaskan lagi oleh penulis hebat Suprihati.

Kegentingan global ala Jokowi

Dari gagasan dan refleksi dalam tulisan ini, muncul seorang penulis Kompasiana yang sangat inspiratif menulis puisi setiap hari, Bambang Syairudin hadir dalam komentar dengan menggarisbawahi poin penting dalam tulisan saya,  "Jangan menghakimi negeri sendiri seakan yang paling terpuruk dari negara-negara lain."

Genting memang bisa dirasakan, tetapi tidak selalu menjadikan orang cuma melihat kelemahan diri sendiri, tetapi juga perlu waspada dan persiapan diri untuk menjadi lebih baik kedepannya nanti.

Oleh karena itu, sebenarnya di tengah perasaan kegentingan global ini orang perlu mengatakan sesuatu dari hati. Memang setiap masa kepemimpinan ada suksesi dan kursi kosong, tetapi juga orang perlu melihat ke langit bahwa di sana ada awan yang datang dan pergi. 

Artinya bahwa itu isyarat bahwa tidak ada yang abadi, pergantian dalam suksesi kepemimpinan itu perlu diterima sebagai suatu kenyataan (Wirklichkeit).

Menariknya bahwa seorang penulis Kompasiana, Zabidi Mutiullah menyisipkan komentarnya bahwa ada kursi kosong yang tak kan pernah dilupakan.

Komentar pilihan ini mengungkapkan kenyataan dunia saat ini, dunia suksesi itu tidak seindah teori tentang suksesi, pergantian dan regenerasi.

Dilema antara WFO, WFH, WFF dan WFG

Artikel yang diberi label Artikel Utama itu tidak kalah serunya karena satu komentar dari penulis Kompasiana yang satu ini, Limantina Sihaloho. 

Menurut Limantina Sihaloho situasi apapun termasuk soal WFH dan WFO itu harus dihadapi dengan bijak. Baginya konsep itu tidak ada pengaruhnya karena ia sendiri lebih sering berada di kebun dan ladang. Dari situ muncul istilah baru, work from farm (WFF), work from garden (WFG). 

Saat membaca komentarnya, terasa penulis ini kreatif banget. Ya, realistis sekali tentunya. Kita hanya membahas urusan kuliah dan kerja, lalu kapan urusan para petani itu dibahas? Menurutnya penting nanam-nanam, biar kita punya cukup stok makanan di bumi.

Diskusi kecil dan komentar berlalu hingga saya terinspirasi untuk menulis puisi kecil dengan judul bekas kaki. Jadi ingat saat pergi bersama ayah dan ibu ke kebun tanpa alas kaki. Setiap langkah meninggalkan bekas kaki.

Selanjutnya di tengah semarak imlek, Kompasiana menawarkan topik pilihan dengan tema, china food, saya ternyata pengagum makanan dan restoran China yang bisa tersebar ke seluruh dunia.

Saat manusia butuh suasana baru dan makanan enak, orang tidak peduli lagi apa itu WFH dan WFO, yang penting adalah Essen im Restaurant (EIR).

Tak hanya di situ, ketika seru-serunya bicara tentang tema makanan, tiba-tiba letupan kasus beras bantuan sosial (bansos) terbongkar di Jakarta pada sebuah gudang dengan kondisi sebagian sudah busuk.

Situasi itu akhirnya menggerakan saya menulis satu puisi kecil tentang "beras bansos, beras busuk." Satu komentar yang mengejutkan saya dari dari penulis Kompasiana yang paling tanggung, Merza Gamal, katanya, "Speechless".

Pengalaman tanpa kata-kata atau Sprachlos itu saya jumpai dalam suatu perjalanan dengan menggunakan kereta pada 20 januari 2023.  Ternyata tidak semua perjalanan itu indah, tapi ada juga kisah yang menyebalkan, yakni ketika ada orang yang tidak peduli pada tata aturan yang ada.

Tapi, yang paling penting kita tetap tenang dan tanpa memberikan reaksi yang berlebihan. Di kereta saat perjalanan itu sama seperti seperti para politisi yang sedang cari panggung.

Ada banyak anak-anak muda yang ugal-ugalan, show diri dan kemampuan mereka, mesti belum punya banyak pengalaman. 

Rumah yang tahan panas di Eropa dan kritik Cak Nun

sorotan tema di bulan Januari 2023 ini sungguh unik yakni terkait rumah yang gak panas. Rumah tahan panas di Eropa misalnya lebih mungkin karena ketersediaan gorden dan tanaman hidup yang hijau di ruangan.

Konsep tahan panas yang muncul secara spontan dan terasa aneh itu dari datang dari seorang tua dari Belanda, daripada panas, mendingan tidur di Keller atau gudang saja.

Alternatif memang hampir selalu saja, ketika manusia sedang terjepit oleh situasi di sekitarnya. Apakah manusia adalah makhluk yang tidak kehabisan akalnya?

Terkait konteks panas sebenarnya bukan saja soal rumah panas, tetapi suasana politik tanah air menjadikan panas. Ya, kontroversi kritik Cak Nun yang meminta maaf tanpa menyebut nama Jokowi, telah menjadi alasan para netizen menyerbunya habis-habisan.

Saat itu saya menyodorkan analisis yang berbeda, polemik dalam komentar terus berdatangan. Saya sendiri terkejut mengapa bisa terjadi demikian. Artikel hingga mendulang pembaca hingga 60 ribu-an. Mengapa bisa terjadi seperti itu?

Poin saya padahal cuma bahwa jika ada maaf, maka maaf itu diterima dengan ikhlas, apalagi Jokowi sendiri tenang-tenang saja, kenapa netizen lebih marah. 

Datanglah seorang penulis Kompasiana yang luar biasa hebat, Tonny Syiariel, ia menulis komentar seperti ini, "menyajikan suatu sudut pandang yang berbeda dari banyak artikel lain tentang Cak Nun."

Ya, saya mendapatkan jawaban cerdas dari Bung Tonny tentang pertanyaan di atas. Menulis itu sebenarnya tidak perlu harus sama, tetapi menyodorkan sudut pandang tertentu sesuai dengan apa yang dipikirkan.

Isu-isu lainnya terus berdatangan, muncul pula gagasan kecil terkait isu ijazah palsu, kisah sulitnya membangun komunikasi dengan orang sulit, lalu tentang ramalan tahun kelinci dan tentu saja terkait konsep rumah adat sebagai alternatif rumah tahan panas dan tentang kades yang menuntut masa jabatan mereka diperpanjang.

Percikan gagasan sekaligus tantangan bagi arsitek Indonesia untuk memadukan konsep modern dan tradisional. 

Investasi ala petani cabe keriting dan 2 tahun menulis di Kompasiana

Jerih payah dan keringat saat liburan ketika berbagi gagasan ternyata bisa membuahkan hasilnya. Cabe keriting sudah bisa berubah jadi uang.

Kisah sederhana yang mengubah wajah petani desa yang semula cuma cemas dan takut dengan isu resesi global, hingga seminggu bisa menghitung uang lumayan untuk hidup keluarga mereka.

Menanam cabe tentu lebih cepat memperoleh uang daripada menulis tentunya. Menanam cabe keriting, belum setahun sudah bisa memperoleh jutaan uang, berapa yang diperoleh penulis?

Tentunya tidak sebanding, namun menulis itu bukan untuk mendapatkan uang sekarang, tetapi itu lain ceritanya. Menulis itu bentuk investasi gagasan.

Investasi gagasan itu berlanjut sampai pada diskusi tentang peradilan anak. Konteks anak-anak Indonesia yang dibawah umur telah terlibat beberapa kasus moral, menjadikan kontroversi baru terkait apakah batasan usia anak perlu direvisi lagi, ataukah sistem pembinaan mental dan kedewasaan cara berpikir anak yang mesti lebih intensif dipersiapkan oleh orangtua dan para guru di sekolah.

Ya, investasi gagasan itu membutuhkan keheningan, karena dari sanalah orang bisa mendengarkan instrumen jiwa dan tidak pula menyangkal waktu dalam hidupnya, tetapi orang juga tidak begitu enteng mengatakan sabar, tenang dan pasrah pada orang yang dijumpainya, secara khusus orang-orang sakit.

Akhirnya saya bisa mengatakan bahwa menulis yang rutin itu ternyata bisa menjadikan hidup kita lebih bermakna. Di sana ada gagasan, ada topik pilihan, teman-teman penulis dengan komentar-komentar mereka; di sana pula ada puisi dan kopi, politik dan polemik, ungkapan lokal dan modern, apresiasi dan kunjungan, ya di sana ada nama-nama.

Semuanya telah menjadi bagian dari cerita hidup saya yang terus saya wariskan untuk dibaca kapan dan di mana saja. 

Salam berbagi, ino, 31.01.2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun