Pernahkah kamu mengalami kesulitan memulai komunikasi dengan orang-orang tertentu entah itu di rumah, di kantor, saat perjalanan dan tempat lainnya?
Ada satu hari di bulan Januari yang begitu indah dan tak bisa saya lupakan. Di sebuah lorong tengah di antara dua rumah jompo (Altenheim) tempat saya bekerja duduk seorang pria berbadan kekar, tinggi besar.
Wajahnya tampak seram dan tak bersahabat. Saya masih ingat kejadian kecil di tahun silam. Ia duduk di sebuah kursi dengan lapisan bantal berwarna merah.Â
Berjaket hitam dan Jeans biru, duduk sambil melipat kakinya, sambil melihat siapa saja yang lewat di lorong tengah itu. Ketika saya hendak melalui lorong itu, dari jarak tiga meter, ia sudah berteriak, " Ich will nicht, ich möchte nicht das lesen atau saya tidak ingin itu dan saya tidak mau membaca itu."
Hari itu saya membawa koran "Glauben und Leben" atau iman dan hidup. Saya sudah tahu bahwa ia tidak suka membaca dan saya juga tidak bermaksud menawarkan koran itu kepadanya.
Sebagai reaksi dengan tenang saya menjawab, "Ya minta maaf, saya tidak bermaksud memberikan koran ini kepada Anda. Saya akan membawa koran ini untuk orang lain di sana."
Ia memahami itu dan kembali diam sambil terus menikmati tempat duduknya. Saya memaklumi psikis orang tua yang mungkin lebih ingin sendiri daripada berjumpa orang lain.
Bahkan ia rupanya lebih ingin memberi sesuatu kepada orang lain, daripada harus menerima sesuatu dari orang lain. Tak heran selang beberapa menit setelah saya melewati tempat ia duduk, katanya, "Â Ich habe kein Geld atau saya tidak punya uang."Â
Saya tidak bisa lagi menjawabnya, tapi saya akhirnya mengerti bahwa dia masih punya alasan. Nah, punya alasan untuk berargumen itu tandanya bahwa ia masih sehat. Ya, sehat pikiran tentu saja.
Cerita tahun lalu berakhir dan tidak ada lagi percakapan selanjutnya, meski tetap saja saya menyapanya setiap hari Jumat dalam seminggu dengan salaman sederhana, selamat pagi, siang dan sore.
Pria itu menjawab dengan begitu sederhana juga, "pagi, siang, sore". Percakapan kami begitu singkat dan sederhana.Â
Semua itu terjadi bukan karena saya irit kata-kata, tetapi saya menduga bahwa ia tidak suka berbicara dengan orang dan mau berbicara cuma seperlunya saja.
Jumat, 20 Januari 2023, jam 11.00 saya melintas pada area yang sama, di mana pria itu duduk pada kursi yang sama. Pertama ia melihat saya datang, ia cepat-cepat membuang wajahnya ke arah lain. Saat itu, saya sudah melihat bahwa ia merasa tidak nyaman.
Soalnya di tangan saya ada beberapa eksemplar koran "Glauben und Leben". Dengan cepatnya, ia mengatakan, "Ich habe keine Interesse" Saya tidak tertarik. Saya menjawab dengan cepat pula, "Alles ok, kein Problem, tidak apa-apa, tidak soal.Â
Tapi saya amati setelah saya berjalan lalu, ia mengikuti saya dengan pandangannya. Setelah setengah jam saya berada di rumah sebelahnya, saya kembali dan menemui dia di situ, pada tempat yang sama.
Ia menyapa saya dengan ucapan selamat siang. Lalu ia menjelaskan mengapa ia tidak suka membaca. Katanya, "Kamu tahu bahwa di halaman pertama setiap koran selalu dimuat tentang persoalan yang paling aktual.Â
Persoalan-persoalan itu sudah terlalu banyak buat saya. Kepala saya sudah tidak sanggup lagi. Terlalu banyak, saya hanya ingin ketenangan, damai dan sendiri."
Setelah jeda sedikit, saya beri respon, "Wow Sie haben Recht atau wow kamu benar sekali. Saat ia mendengar kata-kata saya, ia seperti memperoleh pengakuan.Â
Ia kembali menjelaskan lebih lanjut, katanya dalam bahasa Jerman yang panjang sekali, tapi pada intinya, dia mengatakan bahwa di rumah jompo itulah dia menemukan kebahagiaan. Sudah 20 tahun hidup di rumah jompo.
Katanya, "Di sini kurang apa? Saya punya kamar dan teman-teman sekitar saya. Ada taman yang indah, ada makan yang selalu ada dan tepat pada waktunya.Â
"Jika saya ingin berjalan keluar rumah sebentar, saya tinggal beritahu petugas saja, kapan saya pergi dan kapan saya pulang. Semua sudah ada dan semua itu sudah cukup untuk hidup saya."
Kemudian saya bertanya apakah dia punya keluarga. Ia menjawab sambil geleng-geleng kepala, "Nee, ich bin ganz allein, tidak, saya sungguh sendirian saja.
Ternyata dia tidak punya istri. Ia pernah punya rumah tapi semua sudah dijualnya dan ketika ia sakit, ia memutuskan untuk menjual rumahnya dan uang dari penjualan rumah itu untuk biaya hidupnya selama di rumah jompo.
Tak terasa kami bisa saling mengobrol lama. Satu hal yang tidak saya duga ia mengatakan sesuatu yang bisa jadi itu menjadi motto hidupnya.Â
Tiba-tiba dia mengatakan, "saya tidak tahu, sampai kapan saya hidup. Satu hal yang pasti bahwa saya punya masa lalu dan semua yang pernah saya punya itu sudah berlalu. Vorbei ist vorbei-yang berlalu itu sudah berlalu.
Sejak saat itu, saya amati bahwa ucapan yang sama terus diulangnya. Vorbei ist vorbei. Maksudnya bahwa orang tidak harus memikirkannya kembali apalagi harus pulang ke masa lalu. Tidak, itu sudah berlalu, biarkanlah itu berlalu dan saya melihat ke depan mulai dari hari ini.
Lebih lanjut, tiba-tiba saja ia mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan Ausweis (KTP) nya dan menunjukkan kepada saya identitas pribadinya.
Saya merasa heran awalnya, tapi saya akhirnya sadar bahwa oleh karena ada rasa saling percaya (vertrauen), maka ia bisa menunjukkan identitasnya, ia bisa menjadi lebih terbuka.
Suasana keakraban di antara kami terasa begitu berbeda dari tahun lalu dan minggu-minggu sebelumnya. Saya mulai dengan memanggil namanya, tuan Eduard.
Sekalipun percakapan akrab berlalu satu jam, saya masih menyimpan ragu, apakah dia masih tetap ramah dengan saya. Setelah makan siang, saya berdiri di lantai dua dan dari situ saya melambaikan tangan kepada tuan Eduard.
Saya terkejut, ternyata ia bisa membalas lambaian tangan saya. Saat itu hati saya terasa sangat bahagia.Â
Saya merefleksikan, mengapa saya bahagia dengan peristiwa perjumpaan dengan tuan Eduard itu. Ini alasan kebahagiaan saya:
1. Selama ini saya terpenjara oleh pikiran saya sendiri, bahwa karena wajahnya seram, pasti dia tidak bisa menjadi ramah. Peristiwa itu telah mengubah perspektif saya tentang misteri wajah dan hati manusia bahwa ada orang yang wajahnya seram, tapi hatinya lembut dan baik.
2. Komunikasi dengan orang lain itu bukan suatu keharusan, tapi sebuah proses. Orang perlu mencoba berulang kali dengan menyapa secara singkat secara rutin. Lama kelamaan dia akan tahu bahwa kita sudah sering bertemu dan tidak asing lagi, maka kita bisa saling berbicara dan di sana ada rasa percaya.
3. Betapa pentingnya tugas pelayanan yang melampaui rencana. Saya menjadi sadar bahwa hari kerja saya tidak boleh hanya untuk memenuhi jam-jam yang sudah saya rencanakan, tetapi saya harus tetap terbuka pada siapa saja yang spontan mengajak saya berbicara (Gespräch) tanpa janjian (ohne Termin).
4. Punya waktu yang cukup untuk orang yang ingin berbagi cerita itu ternyata membahagiakan.
5. Mendengarkan orang lain dan memberikan respek yang menjadikannya berarti terkait perjuangan hidupnya sendiri, terkait pandangannya itu ternyata punya energi yang menjadikan kita akrab.
Salam berbagi, ino, 24.01.2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H