Ukuran rumah adat yang biasa, umumnya punya 9 tiang. Oleh karena konsep panggung, maka sudah pasti rumah itu punya kolong rumah dengan ketinggian yang berbeda-beda sesuai kesepakatan adat masing-masing.
Pada prinsipnya semakin tinggi tiangnya, maka rumah itu semakin sejuk, tetapi juga bisa saja tidak aman pada musim angin. Karena itu, sekalipun konsepnya panggung, rumah itu tidak akan lebih tinggi dari rumah yang dimiliki suku di Afrika yang dibangun di atas pohon dengan ketinggian 50 an meter.
Ketinggian 1 - 1,5 meter itu sudah menjadi standar normal yang sudah diperhitungkan terkait kekokohan dan unsur seni dari sebuah rumah adat.
Konsep panggung itu memberikan gambaran bahwa rumah itu menjadi sangat terbuka pada sirkulasi udara setiap hari. Oleh karena itu, umumnya rumah adat di Flores atau mungkin juga di seluruh Indonesia tidak pernah menggunakan Air Conditioner (AC).
Ya, konsep panggung itu sebenarnya konsep yang ramah dengan alam. Cuma sayangnya, bagi kaum akademisi  sampai dengan saat ini belum juga menemukan denyut ketertarikan yang inovatif dengan usaha coba memadukan antara konsep modern dan konsep rumah adat.Â
Padahal kalau gagasan itu bisa direalisasikan, saya pikir itu akan menjadi kekayaan konsep rumah tahan panas yang ada di Indonesia. Mengapa demikian?
Di Eropa hampir tidak punya jenis rumah adat yang merupakan hasil dari imajinasi teknik modern dan budaya mereka. Ya, saya pernah melihat sebuah rumah di Hildesheim, Jerman yang semuanya terbuat dari kayu, memang sangat indah. Bahkan mirip juga bentuknya dengan rumah adat Toraja.Â
2. Konsep cakar ayam dan sepatu rumah panggung
Konsep panggung itu tentu saja tidak terlepas dari ide untuk rumah tahan gempa. Nah, bagaimana caranya?
Tiang setinggi satu meter itu ditopang oleh sepatu yang dicor dengan konsep cakar ayam. Bentuk sepatunya ibarat sebuah pohon, pada bagian pangkalnya lebih besar dari posisi permukaan sepatu yang akan menjadi dasar di mana tiang itu diletakan.
Konsep seperti itu sudah terbukti sangat kuat bertahan. Tahun 1992 Flores dilanda gempa yang dahsyat dengan tingkat kerusakan rumah permanen yang tidak bisa dimengerti. Sementara itu, beberapa rumah panggung terlihat aman saja. Hal ini karena tiang kayu dan sistem kuda-kuda menjadi sangat fleksibel, jika ada goyangan.
Ya, sesuatu yang tidak dipikirkan oleh arsitek kampung, tapi terbukti mampu bertahan walau diterpa gempa 8,7 skala richter saat itu. Namun, pasca gempa muncul bantuan perumahan dari banyak Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) dan sejak saat itu, konsep rumah panggung tidak dipedulikan lagi.
Penyumbang sudah punya konsep yang mesti diikuti, ya daripada tidak dapat bantuan, lebih baik mengikuti konsep berpikir LSM saat itu. Cuma sayangnya, apakah benar rumah permanen itu tahan panas dan tahan gempa?
Nah, konsep modern sering bablas oleh dua hal itu, antara tidak tahan panas dan tidak tahan gempa. Oleh karena itu, tantangan kreatif bagi arsitek Indonesia saat ini tentunya, apakah mungkin ada perpaduan konsep modern dan rumah adat dengan spesifikasi tahan panas dan juga tahan gempa?