3. Kontradiksi kritik dan tuduhan Cak Nun dan ketokohannya itu telah menjadi santapan lezat masyarakat Indonesia
Ketegangan diam-diam yang mulai diciptakan Cak Nun seakan menawarkan santapan ala chinesische food, you can all eat.Â
Cak Nun punya banyak pengikut, punya banyak massanya, demikian juga Jokowi. Tapi, sekali lagi ini bukan soal pertarungan massa pendukung, tapi soal pernyataan Cak Nun pribadi yang sudah dikatakan bersalah.Â
Sebetulnya ceritanya selesai. Cuma sayangnya bahwa logika berpikir rakyat Indonesia dan netizen Indonesia khususnya, jelas-jelas memperlihatkan bahwa seorang tokoh, budayawan mestinya adalah seorang yang tidak pernah bersalah.Â
Tentu saja cara berpikir seperti itu perlu dikoreksi, nobody is perfect. Cak Nun tahu bahwa tanggung jawabnya sandingan seorang budayawan itu tidak bisa seperti menjadi orang asal omong atau tidak bisa gampangan ngalor ngidul, tetapi tutur seorang budayawan harus dipertanggungjawabkan semuanya.Â
Karena itu, peristiwa Cak Nun itu pelajaran buat anak bangsa ini, bahwa ketenangan berpikir dan kebijaksanaan itu mahal harganya. Kemahalan itu perlu dinyatakan dalam kata yang teduh, merangkul dan mempersatukan semua.Â
4. Netizen Indonesia dikelabui oleh Cak Nun untuk sembunyikan kasus bansos beras busuk, kasus Sambo, kasus kasus lainnya yang sebelumnya sedang hangat dibicarakan
Mungkinkah bahwa ada hubungan antara Cak Nun dengan kasus sebelumnya? Ya, mesti diselidiki? Apakah ada hubungannya dengan orang-orang yang terlibat dalam kasus bansos?Â
Ini cuma seperti sebuah sentilan sentilun, tapi pada prinsipnya cuma menitipkan ajakan mari netizen Indonesia kembali fokus pada kasus-kasus yang betul-betul tidak adil buat rakyat banyak.Â
Ajakan itu tidak berarti menyepelekan bentuk tuduhan terhadap Presiden, tetapi kita perlu lebih kritis bahwa di sana sudah ada maaf.Â
Maaf itulah yang menjadikan kita kembali akrab, damai dan bersatu. Oleh karena itu, sejauh bisa hal ini perlu dilakukan Cak Nun:
Berkunjunglah ke istana menemui Bapak Presiden Jokowi dan katakanlah maaf seribu maaf.Â