Gesekan boleh saja ada, asal hubungan kita tetap satu adanya. Suara boleh saja bermunculan, tapi suara kita tetap sama suara untuk kemajuan bangsa | Ino Sigaze.
Sorotan tema Kompasiana kali ini menyegarkan raga dan ingatan masa dulu, karena bersentuhan dengan permainan masa dulu. Latto-latto baru populer di Flores di tahun 2000-an, namun latto-latto tetap diingat dan dikenang.Â
Tentu saja sedikit terlambat dari daerah-daerah lainnya atau secara khususnya di Jawa. Popularitas mainan jadul "latto-latto" itu bukan karena cara bermainnya, tetapi pertama-tama karena suaranya.
Oleh karena itu, di Flores Latto-latto disebut bukan sebagai latto-latto, tetapi knok-knok. Entah siapa yang memberi nama itu, tetapi pasti bahwa sebagian besar masyarakat mengenal latto-latto dengan nama knok-knok.
Ada 2 nama yang dikenal masyarakat Flores dengan asosiasi sosialnya:
1. Knok-knok
Pertama kali mendengar suara dari permainan itu, saya cuma merasa penasaran dan bertanya, "suara apa ya?" Tidak pernah mendengar nama latto-latto.Â
Hampir setiap hari melintas di jalan bersamaan dengan suara anak-anak Sekolah Dasar (SD) suara knok-knok. Ributnya minta ampun deh.
Waktu itu disukai bukan cuma beberapa anak, tetapi ada begitu banyak anak sekolah yang pergi ke sekolah membawa latto-latto dan sepanjang jalan itu cuma terdengar suara latto-latto atau knok-knok.
Tidak jarang pula orang-orang dewasa bermain latto-latto, jadi sudah pasti keributan di sekitar rumah kami menjadi semakin marak. Latto-latto atau knok-knok memang selalu mendatangkan keributan.
Oleh karena keributan itu, cukup populer pula mainan latto-latto disebut dengan sebutan berikutnya.