Era ketika pemimpin gereja katolik anti-kritik mungkin sudah berakhir, era baru dengan pilihan hidup menjadi lebih terbuka kepada dunia dan manusia sekaligus menjadi tegangan baru untuk menyatakan iman pada satu sisi tanpa menyangkal akal budi pada sisi lainnya.
Dunia mengenal Joseph Ratzinger sebagai seorang teolog, pemikir yang cemerlang. Keputusan untuk mengundurkan diri dari jabatan Paus pada 28 Februari 2013 menjadikannya dikenal dengan sebutan paus modern pertama yang mengundurkan diri.
Alasan Paus Benediktus XVI yang mengundurkan diri tidak lain karena faktor usia dan kelelahan fisiknya. Tentu saja kelelahan itu karena tanggung jawabnya yang besar dan berat untuk gereja sedunia.Â
Paus Benediktus dalam suasana yang santai bisa menjawab dengan dialek Bayern: "Na, lieber ned!" atau nah yang terkasih. Joseph Ratzinger akhirnya menghembuskan nafas terakhir dalam usia 95 tahun.
Seorang Joseph Ratzinger yang kelelahan di akhir hidupnya akan dikenang. Saat itu dia mengunjungi saudaranya yang sakit parah Georg di Regensburg, yang tak lama kemudian meninggal dunia.Â
Tetapi pengunduran dirinya sebagai Paus Benediktus XVI, menjadikannya pencetus sejarah baru tentang pengunduran diri paus.
Masih segar dalam ingatan gereja bahwa setelah pemilihannya sebagai paus pada April 2005, Benediktus XVI., menggambarkan dirinya sebagai "seorang pekerja sederhana dan rendah hati di kebun anggur Tuhan."Â
Namun setelahnya muncul pula celaan dari publik yang kritis sampai menyebutnya dengan nama "Panzer Kardinal."Â
Dari latar belakang kritikan itulah, Paus Benediktus menjadi begitu hati-hati dalam menyampaikan gagasan-gagasannya. Paus kelahiran 1927 itu akhirnya punya kesulitan besar untuk melewatinya. Ia kemudian mengundurkan diri.
Terobosan teologis Ratzinger: Iman dan Akal Budi
Sekalipun Paus Benediktus punya kesulitan menghadapi kritik publik saat itu, ia tetap saja disebut sebagai kepala Gereja Katolik Roma pada masanya. Tentu saja dengan kenyataan munculnya polarisasi di kalangan kaum intelektual, secara khusus para teolog.Â
Bahkan tantangan berat yang pernah dihadapinya yakni ketika para pengamat, pengagum dan kritikus sama-sama tidak sependapat tentang penting dan pengaruh kepausannya, tetapi mereka mengakui bahwa Ratzinger adalah salah satu teolog paling terkenal di zaman kita.Â
Koran Augsburger Allgemeine bahkan merilis pernyataan yang terdengar aneh karena Ratzinger dianggap lebih tepat disebut sebagai seorang guru dan profesor daripada sebagai seorang gembala.Â
Meskipun demikian, menariknya bahwa pernyataan yang memojokan pengaruhnya di tahta kepausannya diterima dan diakuinya. Ternyata Ratzinger juga mengakui bahwa pengetahuan tentang sifat manusia dan pemerintahan bukanlah salah satu kekuatannya.
Kejujurannya itu menjadikan jelas posisi dirinya sebagai seorang teolog besar yang tetap pada prinsip dalam usahanya untuk mensintesiskan iman dan akal budi.Â
Sintesis teologis ala Ratzinger di zaman ini dianggap sebagai satu terobosan yang luar biasa. Demikian Ratzinger dengan tegas mengatakan: Die Vernunft wird ohne den Glauben nicht heil, aber der Glaube wird ohne die Vernunft nicht menschlich", atau "Akal tidak bisa disembuhkan tanpa iman, tetapi iman tidak bisa menjadi manusia tanpa akal,"
Gagasan kunci dari pemikiran teologisnya telah dirujuk kembali sejak Ratzinger mengajar di Regensburg, Jerman pada tahun 2006. Fokus perkuliahan yang diberikannya adalah membahas hubungan antara iman dan akal budi.
Krisis gereja: disintegrasi liturgi, pembersihan dan pembaharuan Ratzinger
Koran Augsburger Allgemeine juga merilis tentang kenyataan Benediktus dalam suatu tegangan antara kesetiaan pada tradisi pada satu sisi dan bagaimana perjuangan untuk hidup di zaman ini dengan pandangan baru.
Setelah Konsili Vatikan Kedua pada tahun 1960-an yang mengubah begitu besar wawasan dan cara pandang melalui Aggiornamento dengan gagasan-gagasan keterbukaan pada kebenaran pada ajaran agama lain, maka kaum tradisionalis yang hidup di bawah pengaruh Konsili Vatikan pertama hidup dalam bayangan tertekan untuk waktu yang lama.Â
Namun, ketika masa kepausan Benediktus rupanya dalam waktu singkat, kaum tradisionalis itu menghirup nafas legah dalam kaitan dengan bentuk liturgi mereka. Paus Benediktus bahkan berpendapat bahwa krisis gereja terutama disebabkan oleh disintegrasi liturginya.
Di tengah derasnya arus pembaruan liturgi dari Konsili Vatikan kedua, Paus Benediktus justru bersikeras dengan supremasi tradisi. Oleh karena itu, Ratzinger hadir lebih dengan sorotan kritis tentang "Ausmisten und Erneuerung" atau pembersihan dan pembaharuan.Â
Ratzinger punya kemampuan berpikir cerdas dalam teologi dan oleh karena itu, dia memperoleh kepercayaan dengan jabatan penting di Jerman dan di Roma.Â
Ratzinger pernah mengalami dua kali konklaf tahun 1978, kemudian ditunjuk sebagai Prefek Kongregasi Ajaran Iman oleh Paus Yohanes Paulus II dengan janji bahwa Ratzinger tetap diizinkan melakukan riset sain teologi.
Kekuatan gagasan dan pandangannya yang berakar pada tradisi itu lambat laun terasa kejam karena kehilangan relevansi yang terbuka kepada dunia dan gagasan lainnya. Reputasi baru di gandengannya sebagai penjaga iman yang kejam. Ketegasannya ternyata seperti memenjarakan konsep-konsep sekuler pada saat itu terkait dengan liberalisme dan relativisme.
Apa yang dihadirkan justru berbanding terbalik, liberalisme dan relativisme dilawan dengan ultra-konservatif dengan rujukan setia pada tradisi. Gagasan-gagasan itu paling berpengaruh khususnya di Jerman.Â
Bahkan Augsburger Allgemeine juga merilis kenyataan traumatis umat Protestan sampai dengan saat ini. Bagi Ratzinger, umat Protestan hanya sebagai komunitas gerejawi dan bukan sebagai gereja.
Logis dan terikat pada tradisi vs liberal sederhana
Selanjutnya di kalangan para teolog katolik mengenal Ratzinger sebagai penerus Wojtyla yang logis dengan bayangan liberal datang dari putera Argentina bernama Jorge Bergoglio yang sedang mencalonkan diri pada konklaf tahun 2005 sebagai lawan yang paling menjanjikan.Â
Sayangnya pada saat itu, putera Argentina mengundurkan diri. Aksen teologis yang berbeda dari putera Jerman dan Argentina itu telah menuliskan narasi baru tentang kesinambungan teologis yang goyah, tapi penuh dinamika antara keduanya.
Tidak heran muncul logika di kalangan para teolog seperti ini, siapa yang ingin memahami Benediktus, maka harus mempelajari ajarannya. Dan siapa yang ingin memahami Paus Fransiskus, maka harus memahami gerak tubuh dan kata-kata sederhana yang sesuai dengan era digital.
Polemik terkait Paus benediktus XVI
Sudah menjadi rahasia umum bahwa kekaguman pada Ratzinger sebagai teolog loyal pada tradisi hanya bertahan sampai pada perjalanan pastoral pertamanya pada tahun 2006. Setelah itu, skandal dan kontroversi menjadi ciri kepausannya. Kenyataan itu paling dirasakan di Jerman.
Pada tahun 2009, misalnya, kompromi tidak logis seputar pencabutan ekskomunikasi para uskup Lefebvre oleh Benediktus mengguncang Vatikan dan dunia - di antara para uskup tersebut adalah penyangkal Holocaust Richard Williamson.Â
Pada tahun 2011, seruan mengejutkan Benediktus agar Gereja menjadi "Entweltlichung" atau "jauh dari duniawi" menjadi berita utama.Â
Pada 2012, pelanggaran kepercayaan oleh pelayannya Paolo Gabriele, yang kemudian dikenal sebagai skandal "Vatileaks" dan mengejutkan Benediktus yang berusia 85 tahun pada saat itu. Dia memberikan ratusan dokumen dari mejanya dan menyerahkannya ke para wartawan.Â
Demikian sorotan terkait Paus Benediktus XVI atau nama aslinya Ratzinger dalam nada yang tidak biasa dan mungkin mengejutkan kita. Kebenaran pantas dinyatakan untuk dipahami secara nalar.
Salam berbagi, ino, 1.1.2023.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H