Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Makna Filosofis dari Cara Ibu Memberi Makan Ayam

22 Desember 2022   11:31 Diperbarui: 22 Desember 2022   18:14 1247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ibu adalah guruku dan filosofi "memberi makan ayam" | Ilustrasi dokumen diambil dari tafsiranmimpi.com

Ibuku adalah sang guruku. Ibuku adalah guru kebijaksanaan, guru keadilan, guru kelembutan dan guru kasih sayang | Ino Sigaze.

Sorotan tema sangat menarik dari Kompasiana kali ini telah menyeret saya untuk membisu sendiri di kamar. Tema tentang "Ibuku yang penuh semangat" telah membuka cakrawala baru tentang ibuku yang sederhana dan bagaimana filosofinya tentang perjuangan.

Menulis tentang filosofi perjuangan sang ibu sederhana bukan berarti bahwa ibuku adalah seorang filsuf, tentu saja bukan. Ia bahkan tidak pernah menikmati bangku pendidikan.

Sejarah tentang keterbelakangan Flores, NTT pada 87 tahun silam sudah pasti berbeda sekali dengan cerita zaman sekarang. Hampir tidak ditemukan lagi anak-anak yang tidak menikmati pendidikan sekolah dasar dan menengah.

Filosofi perjuangan sang ibu sederhana itu tidak ditemukan dalam gagasan filosofi yang hebat dengan rincian logika yang sangat filosofis, tetapi sebaliknya ditemukan dalam cara-cara sederhana dalam kehidupan sang ibu hingga sekarang.

Entah kenapa, saya paling suka melihat ibuku saat bangun pagi. Pekerjaan yang dilakukan paling setia sampai di usianya ke 87 saat ini adalah memberi makanan ayam di halaman rumah, persis depan pintu rumah.

Terkadang saya memikirkan hal itu dengan macam-macam pertanyaan, tanpa ibuku tahu bahwa hal itu mengganggu saya. Apakah itu dilakukannya dengan sengaja? Drama apalagi yang dilakukan sang ibu saat pagi hari? Ibuku suka pamer kerajinananya? Kenapa sih begitu?

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang sering mengganggu pikiran saya ketika saya berada di rumah dan selalu melihat ibuku memberi makan ayam di depan rumah.

Ibuku memberi makan ayam di halaman depan rumah

Baca juga: Malam Persimpangan

Di rumah ibuku punya banyak ayam. Ada ayam yang diternak sejak kecil, tapi juga ada ayam yang diberi orang. Cerita orang memberi ayam bagi orang Flores itu sangat normal. 

Kalau saya liburan, biasanya sesuai adat kami di sana, pihak saudari dan keponakan itu datang membawa ayam hidup. Ayam itu sebagai ungkapan hati dan kerinduan mereka untuk bertemu dengan om mereka.

Oleh karena kemungkinan adat itu diterima sebagai hal yang normal, maka saat liburan beberapa waktu lalu misalnya, saya memperoleh ayam sebanyak 43 ekor.

Lho banyak sekali kan, lalu gimana caranya memelihara ayam-ayam itu. Tentu saja, ayam-ayam itu sebagiannya akan menjadi santapan keluarga untuk menjamu para tamu di rumah.

Sebagian ayam itu pasti akan dipelihara oleh ibuku. Memelihara ayam yang sudah besar dari orang lain itu tidak mudah, apalagi yang memberikan ayam itu adalah dari tetangga di kampung yang sama.

Tantangan terbesarnya adalah bagaimana menjadikan ayam yang sudah besar dari pemberian saudari dan keponakan itu menjadi jinak di rumah.

Ibuku berdiri di tengah halaman rumah

Perhatian saya yang tidak terlupakan dari kebiasaan dan hobi ibuku adalah bahwa setiap kali dia memberi makan ayam, ia berdiri di tengah halaman, lalu memegang mangkuk kecil yang berisi jagung.

Ibuku rupanya sudah tahu dengan jelas mana ayam yang jinak dan mana ayam yang liar. Nah, oleh karena itu, sebetulnya ia berdiri di tengah, namun dengan konsentrasi yang tidak terfokus hanya pada satu posisi.

Arah pandangannya kadang berubah-ubah ke segala arah. Rupanya ia sedang mencari-cari, mana ayam yang masih merasa asing dan belum memperoleh bagian jagung sebagai sarapan pagi. 

Tidak heran terlihat, ibuku membuang jagung beberapa arah. Satu hal yang pasti bahwa ia membuang jagung pertama-tama ke arah kiri untuk ayam-ayam yang sudah jinak.

Semua ayam-ayam itu akan berkerumun di sana. Ketika itu juga, ia melemparkan beberapa biji jagung saja ke arah ayam yang masih jauh-jauh, ya masih merasa asing dengan ruang halaman rumah.

Posisi ibuku itu ibarat seorang penengah

Posisi berdiri ibuku menjadi sorotan permenungan saya, mengapa ibu berdiri di tengah? Ya, ia rupanya menjadi penengah bagi ayam-ayam itu. 

Ia menjadi penengah yang punya kepentingan: Ada dua kepentingannya: pertama, ayam yang sudah jinak bisa memperoleh makanan, tanpa merampas makanan untuk ayam yang belum jinak. Kedua, ia sedang berusaha mengubah cara pandang dari liar menjadi jinak, dekat dan bersahabat.

Cara menjinakan ayam yang liar itu, ternyata bukan dengan membuang sebanyak mungkin jagung atau makanan ke arah ayam itu, tetapi membuang satu demi satu.

Ayam liar itu akan mengambil langkah penuh pertimbangan, kadang ia maju, lalu mundur lagi beberapa langkah. Setelah jagung dibuang lagi, ayam itu berusaha maju lagi. 

Jagung yang dilempar itu semakin pendek jangkauannya dari ibuku. Cara itu akhirnya tanpa disadari ternyata, ayam itu semakin dekat. Hal seperti itu dilakukan ibuku setiap hari.

Rutinitas pagi hari itulah yang mengubah pandangan picik sang ayam untuk menaruh percaya pada sang ibu. Seminggu berlangsung, ayam yang semula liar itu ternyata sudah bisa makan jagung dari telapak tangan sang ibu.

Aneh bukan? Mengapa bisa seperti itu?

Rupanya ibu itu punya kemampuan tidak terkatakan. Dalam kasihnya yang lembut, sampai ayam pun bisa merasakan kenyamanan berada bersamanya. Yang liar bisa ditaklukannya dengan melemparkan jagung satu demi satu.

Pengalaman tentang ibuku yang setia memberi makan ayam sangat menyentuh hati saya, sampai-sampai menyeret saya untuk merenungkan secara khusus di hari ibu pada hari ini.  

Makna filosofis dari cara ibu memberi makan ayam

Pengalaman yang sangat sederhana dari ibuku itu bagi saya punya makna filosofis sendiri. Ya, filosofi tentang perjuangan untuk meraih cita-cita.

Jika orang ingin meraih apa yang masih jauh, maka orang tidak boleh terburu-buru untuk meraihnya, melainkan selangkah demi langkah (Schritt für Schritt).

Sebaliknya jika orang terburu-buru supaya cepat memperolehnya, maka yang terjadi justru apa yang diharapkan itu semakin menjauh. 

Ketenangan membangun brand kepercayaan itu jauh lebih penting daripada menampilkan wajah tergesa-gesa. Ketergesaan itu mudah menjadikan orang hilang fokus pada apa yang mau diraihnya.

Ibu itu sekalipun bukan orang yang berpendidikan, tetapi sang ibu punya kebijaksanaan yang hebat sama seperti orang-orang berpendidikan.

Pendidikan dari seorang ibu, sering bukan dengan kata-kata, tetapi dengan cara-cara tanpa banyak kata, yang membuka cakrawala berpikir anak-anak mereka.

Selamat hari ibu, doaku untuk semua ibu dan terima kasih untuk ibuku, mama Theresia di  Ende, Flores, NTT. 

Salam berbagi, ino, 22.12.2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun