Belum lagi kalau masuk ke konteks urusan perizinan pembangunan gereja yang begitu rumit di Indonesia, ya bagaimana bisa merayakan 100 persen tanpa dibangun tenda, kalau umatnya saja tidak punya gereja, atau jika punya hanya seperti sebuah pondok kecil saja.
Perhatian dan tujuan dari kebijakan Menteri Agama tentu saja baik, cuma tidak sampai memikirkan hal-hal lainnya dan tentu saja masih ada kebijakan lain yang lebih baik dari kebijakan 100% itu.
Oleh karena itu, beberapa pertimbangan ini mungkin saja  baik untuk dipikirkan lagi:
1. Pengarahan dan kedisiplinan perlu ditingkatkan terkait protokol kesehatan  covid, misalnya semua umat yang hadir dalam perayaan Natal harus mengenakan masker dengan standar tertentu.
2. Konsep jaga jarak tetap diterapkan baik di dalam maupun di luar gereja.
3. Pembatasan soal menerima komuni dengan melalui mulut, komuni semuanya hanya dilayani dengan menggunakan tangan.
4. Tidak diperkenankan saling bersalaman secara langsung atau menyentuh tangan selama perayaan.
Penerapan konsep-konsep seperti itu saja sebenarnya sudah cukup membatasi kehadiran orang karena harus jaga jarak, lalu kalau tidak diizinkan membangun tenda di luar lagi, apa artinya 100%?
Barangkali ada alasan lain yang dikhawatirkan Menteri Agama soal keamanan. Sebenarnya bukan hal baru lagi di Indonesia bahwa ada pengamanan khusus ketika ada perayaan besar keagamaan.
Logikanya sederhana, pada tempat di mana potensi untuk hal yang tidak diinginkan itu besar, maka pengamanan itu harus lebih ditingkatkan dengan kapasitas 100 %.Â
Salam berbagi, ino, 17.12.2022.