Pagi diselimuti salju, disengat dingin minus 7, pada jam 7 getaran pesan masuk menyambut hari baru. Hari baru dengan sengatan waktu bisu.
Waktu bisa bisu, ketika pesan pagi bicara tentang kepergian dia yang terkasih. "Waktuku akan segera berakhir", sepenggal syair terakhir dibaca saat bisu.
Benar-benar waktu bisa bisu. Terhenti untuk menyapa, bersua, bertanya dan berbagi. Tak ada lagi cerita lahir dari bisunya waktu.
Waktuku hanya membaca kembali kenangan, pesan dan cerita mulai dari kemarin sampai waktu-waktu dulu.Â
Waktu pertama  ia menyapa dan bertanya tentang kemungkinan-kemungkinan menjadi satu dalam waktu yang bisu.
Waktu bisa bisu ketika detak jantung berhenti saat ini. Waktu bisa bisu saat mendengar ia tidak bernyawa lagi.Â
Waktu bisa bisu, saat ia tidak lagi mengenal waktu. Waktu bicara sudah berlalu. Waktu berbagi sudah terlampau.Â
Waktu kenangan menetap sepanjang waktu walau membisu.
Waktu bisa bisu saat ia pergi bersamaan dengan datangnya salju. Ia menghilang lenyap dalam kebekuan warna putih yang membungkus tubuhnya.
Putih hidupnya. Waktunya sudah bisu. Ia hanya meninggalkan sebuah buku berwarna biru. Di waktu bisuku, aku membaca kado terakhirnya saat ia memberi dengan bisu.
"The Surrender Experiment, my journey into life's perfection."
Salam berbagi, ino, 16.12.2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H