Mohon tunggu...
Inosensius I. Sigaze
Inosensius I. Sigaze Mohon Tunggu... Lainnya - Membaca dunia dan berbagi

Mempelajari ilmu Filsafat dan Teologi, Politik, Pendidikan dan Dialog Budaya-Antaragama di Jerman, Founder of Suara Keheningan.org, Seelsorge und Sterbebegleitung dan Mitglied des Karmeliterordens der Provinz Indonesien | Email: inokarmel2023@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Siapa Presidennya? dan Solusi - Social and Political Recognition Ante-Pilpres 2024

10 Desember 2022   02:38 Diperbarui: 10 Desember 2022   02:52 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Siapa presidennya dan solusi social and political recognition ante-pilpres 2024 | Dokumen ilustrasi diambil dari Liputan6.com

Solusi Pengakuan Sosial-Politik Ante-Pilpres 2024 perlu menjadi kajian kritis dalam konstelasi politik Tanah Air, agar popularitas itu tumbuh tanpa kekonyolan edukasi pada generasi masa depan bangsa ini | Ino Sigaze.

 

Siapa presidennya? adalah pertanyaan yang mulai menggema jagat media sosial Indonesia sejak Nasdem secara resmi mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai calon Presiden pada laga Pilpres 2024 nanti (Kompas, 4/10/2022).

Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh bahkan dengan tegas mengatakan bahwa ia memilih Anies sebagai yang terbaik dari yang baik-baik.

Semenjak deklarasi itu, gelombang polemik terkait keputusan Ketua Umum Partai Nasdem menjadi topik panas bagi sebagian besar konten kreator Indonesia. 

Sorotan dari berbagai sudut pandang bermunculan dengan aneka ragam gaya; ada yang mencoba menyerang Nasdem, Anies dan mengkritis langkah Surya Paloh, bahkan terlihat jelas sekali ada fenomena pembongkaran rekam jejak Anies.

Sementara itu, Anies yang mendapat dukungan Nasdem tidak pernah tinggal diam lagi. Pedal gas langsung ditekannya tidak main-main, sampai pada kehebohan yang luar biasa, bahkan elektabilitas Anies melonjak tiba-tiba.

Anies melakukan kunjungan ke berbagai daerah, tidak hanya Jakarta. Kunjungan di luar Jakarta dilakukannya dengan penampilan yang selalu meriah.

Tidak terlupakan karena paling berkesan bagi saya adalah pertanyaan yang diajukan Anies sendiri, "Siapa Presidennya?" Massa pendukung Anies tidak tanggung-tanggung menjawab spontan, "Anies." 

Teriakan Anies Presiden itu begitu menggema, sampai mengusik nalar dan bertanya, mengapa ada kenyataan seperti itu? Masa kampanye kan belum tiba? Presiden hasil pemilu sebelumnya kan masih ada, kok muncul presiden baru lagi?

Begitulah beberapa pertanyaan aneh yang muncul spontan. Suksesi kepemimpinan kapan saja dan di mana saja selalu punya etika dan konsekuensinya. 

Dalam ranah gagasan seperti itu, bisa saja apa yang dilakukan Anies itu terlalu dini dan terlalu menggebu-gebu. Bahkan bisa saja dikatakan keluar dari ranah etika.

Suksesi kepemimpinan kapan saja dan di mana saja selalu punya etika dan konsekuensinya.

Tapi, setiap orang di negara Demokrasi selalu punya alasan yang membenarkan sikap dan tindakannya. Demokrasi selalu menjadi tameng untuk berdalil. Ya, bisa-bisa saja. 

Cuma perhatian masyarakat umumnya tidak hanya sekedar tentang cara berdemokrasi, popularitas yang diraih dari kerja nyata, tetapi juga ada soal janji-janji masa lalu yang perlu dipertanggungjawabkan.

Konten kreator yang mengumbar pertanyaan "siapa presidennya" itu tidak pernah tertutup untuk anak-anak. Saya membayangkan pada saat ujian ketika ditanya, siapa presiden Indonesia, anak-anak bisa saja menjawab "Anies Baswedan." Apakah guru atau tim pemeriksa membenarkan jawaban anak-anak itu?

Ya, anak-anak mendengar pertanyaan dan jawaban itu sampai saat ini tentang teriakan siapa presidennya dan riuh jawaban, "Anies." Apakah itu bukan merupakan suatu kekonyolan? Suksesi kepemimpinan mestinya merujuk kepada proses edukasi bagi anak bangsa ini sehingga menjadi cerdas berdemokrasi. 

Semua ada waktunya, ada waktunya disebut sebagai presiden di sebuah negara, ada waktunya disebut sebagai calon presiden pada konstelasi pemilu yang akan datang. Oleh karena itu, sebenarnya ada pula waktunya untuk diam dan tidak mengatakan hal yang bukan sebenarnya. 

Anies sebenarnya berada di posisi sebagai calon presiden dari partai Nasdem dan BUKAN PRESIDEN. Presiden kita adalah Bapak Ir. Joko Widodo dan calon presiden untuk konteks pemilu tahun 2024, ya tentu saja banyak.

Saya jadi ingat dalam dunia tinju. Ada banyak sekali video yang memperlihatkan aksi-aksi selebrasi awal sebelum berlaga di atas ring. Ada yang begitu tenang, tetapi ada juga yang punya selebrasi ekstrim menganggap lawannya lemah, menari-nari dan mengejek. Perhatikan, umumnya yang punya selebrasi ekstrim, berlebihan itu kalah secara sangat memalukan.

Nah, barangkali ilustrasi ini akan menjadi suatu kebenaran pada saatnya nanti, ya terkait suksesi kepemimpinan di kancah Pilpres 2024 nanti. Kita lihat saja apa yang akan terjadi nanti. 

Ketenangan, kejujuran, dan opsi keberpihakan seorang calon pemimpin harus menjadi lebih jelas dari sekedar mencari pengakuan sosial dan politik (Social and Political Recognition). 

Pengakuan sosial dan politik bisa saja datang ketika mata dunia melihat kenyataan-kenyataan dan rekam jejak yang bisa dibuktikan secara objektif.

Jejak digital calon pemimpin saat ini, mungkin tidak bisa lagi dibohongi karena sudah tidak bisa terhapus dari ingatan media yang sekali tertulis akan tetap tertulis.

Pengakuan itu sendiri membentuk, atau bahkan menentukan, rasa kita tentang siapa kita dan nilai yang diberikan kepada kita sebagai individu. Nah, saya masih ingat kejadian kecil tahun lalu di rumah saya. 

Kebetulan baru saja ada pemilihan pemimpin rumah yang disebut sebagai Prior atau orang yang pertama. Pada saat yang sama teman-teman lain yang mungkin tidak bisa menerima keputusan itu, memanggil orang lain sebagai Prior. Terasa banget saat-saat itu sebagai saat yang kurang sopan dan tidak bisa mengakui orang lain. 

Mungkin juga sama dengan konteks perpolitikan di negeri ini. Orang sampai tidak bisa membedakan lagi mana presiden yang resmi dan mana calon presiden. Pembiaran terhadap kenyataan seperti ini sama dengan membiarkan nalar waras itu tetap tumpul. Padahal cita-cita bersama kita adalah agar generasi ini menjadi generasi yang cerdas dan kritis. 

Etika dan adab sesuai regulasi yang berlaku memang seharusnya tetap menjadi pandu dalam ritme suksesi kita dari waktu ke waktu. Solusi bertemu pendukung itu sah-sah saja, cuma edukasi untuk para pendukung yang agresif sampai tidak kritis mungkin itu perlu menjadi prioritas supaya bangsa ini tetap bisa menghubungkan gagasan antara pengakuan dan kebenaran, keadilan dan rasa hormat pada perbedaan. 

Anies masih punya waktu untuk berbenah dari emosi pendukung yang berlari lebih cepat dari regulasi yang berlaku. Ketenangan adalah kekuatan; kehebohan tanpa kebenaran adalah awal dari kejatuhan.

Salam berbagi, ino, 10.12.2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun